Categories: Wawancara

Implementasi Nawa Cita di Perhubungan

Waktu di KAI, dengan quick win strategy karena itu operator. Nah, di sini ada kesulitan seperti apa untuk mengubah culture?
Quick win strategy kalau di regulator itu menurut saya kurang pas. Kalau quick win strategy diterapkan di regulator, akhirnya tidak mendasar, bisa groundless sekali. Di kementerian ini kalau mau quick win itu apa? Pemangkasan izin, sudah. Izin ada 150 izin, apakah izin itu dihapus atau diberikan dengan jangka waktu berlaku lebih lama, ya itu ‘kan enggak terasa. Tolong ditanya stakeholder kami, yang punya kepentingan di sini.
Contoh lagi, misalnya, flight approval dulu manual sekarang online. Bisa diajukan tiga hari sebelumnya, kami kasih kalau ada slot-nya. Terus izin rute juga online. Sekarang yang lagi diproses itu surat registrasi izin tipe untuk kendaraan-kendaraan, registrasi di sini semua. Itu sebentar lagi online, kira-kira Agustus. Pendaftaran kapal kami bikin online. Pendaftaran pelaut juga dan sebagainya. Ini cepat ‘kan.

Salah satu tantangan tidak bisa quick win adalah sistem penggunaan anggaran. Kalau korporasi lebih fleksibel. Di sini ada aturan ini, aturan itu. Diminta tanggung jawab mutlak, harus lelang, harus tender. Nanti salah prosedur, orang ditahan.

Kalau tantangan di lapangan, waktu Anda ditunjuk jadi Menteri Perhubungan, ada harapan bisa menurunkan biaya logistik dan perizinan. Itu sejauh mana?
Begini, penurunan biaya logistik itu tidak semata-mata menjadi domain dari kementerian ini karena yang terlibat banyak. Yang bangun jalan PU, yang ngatur lalu lintas polisi, semua peraturan daerah juga terlibat, walaupun salah satu penjuru penting adalah regulasi di sini. Regulasinya ‘kan perizinan dipermudah, safety diperketat, dan sebagainya. Ini ada ekuilibrium baru, harapan saya.

Pelabuhan-pelabuhan yang dikelola secara komersial oleh Pelindo I sampai IV itu ada 112 pelabuhan besar. Saya selama di sini tidak pernah mengizinkan untuk menaikkan biaya terminal handling cash atau apa yang ada di pelabuhan itu, enggak pernah. Saya minta untuk efisiensi. Kalau biaya logistik, sebenarnya itu masalah timing. Kalau menurut saya, di pulau yang sangat padat seperti Jawa, itu masalah mudah. Kalau kereta api sebagai salah satu pilihan di samping truk, bisa masuk pelabuhan, bisa bantu menurunkan biaya logistik. Masalah waktu ‘kan. Logistik ini proses panjang. Enggak ada negara yang dalam waktu setahun bisa memangkas biaya logistik jadi separuh. Saya ingin lihat, enggak ada.

Namun, ada achievement yang ingin dicapai ‘kan?
Oh, ada. Bisa dibaca di sini (sambil menunjuk buku Laporan Menteri Perhubungan 2015), lengkap. Ini kami mencoba mengimplementasikan Nawa Cita. Goal-nya cuma tiga: peningkatan keselamatan transportasi, peningkatan jumlah layanan transportasi publik, dan peningkatan kualitas layanan transportasi publik. Itu saja. Ini ngomongin-nya gampang, jalanin-nya setengah mati.

Ini setidaknya bisa mengakomodasi hingga berapa tahun ke depan?
Mungkin sampai dengan 15-25 tahun bisa. Ini yang pembangunan tahun ini. Saya lebih suka yang begini. Kalau saya cerita visi misi, saya kira itu domainnya presiden. Saya ‘kan kementerian teknis, ya sudah. Realisasinya apa sih? Ya eksekusi.

Keberhasilan Anda di KAI membuktikan bahwa Anda jago di business decision. Makanya, ada yang menyayangkan, kenapa Anda di Kementerian Perhubungan. Seharusnya, dengan kapasitas Anda, Anda lebih cocok di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Apa komentar Anda untuk itu?
Kalau boleh sih, tanpa mendahului presiden, kalau masih dipakai, saya di sini saja. Saya benahi dulu, lima tahun. Mungkin saya ada manfaatnya. Sama saja ‘kan?

Lebih vital ini untuk masyarakat?
Iya. Pekerjaan itu yang penting manfaatnya untuk orang lain. Menurut saya, untuk kemaslahatan masyarakat, vital sekali. Begini saja, GDP (gross domestic product) kita kira-kira Rp12.000 triliun, APBN Rp2.000 triliun kurang. Jadi, kontribusinya kira-kira mungkin 15% sampai dengan 18% kontribusinya APBN. BUMN kontribusinya berapa? Ada 18%, enggak ada. Mungkin kontribusinya (revenue) kira-kira 7%-10%, total. Dan, menteri BUMN ‘kan bukan chief executive, dia pembina saja. Menteri BUMN jadi populer karena bisa mengganti direksi BUMN. Jadi, total, kalau APBN ditambah BUMN, saya kira maksimum 25%. Lah, 75%-nya itu ‘kan sektor nonpemerintah dan non-BUMN. Besar itu 75%. Dan, itu tergantung regulasi, walaupun bukan di kementerian ini saja.

Page: 1 2 3

Apriyani

Recent Posts

Hyundai New Tucson Mengaspal di RI, Intip Spesifikasi dan Harganya

Jakarta – Menjelang akhir 2024, PT Hyundai Motors Indonesia resmi merilis new Tucson di Indonesia. Sport Utility Vehicle (SUV)… Read More

11 hours ago

Bahana TCW Apresiasi Langkah BI Jaga Stabilitas Rupiah Pasca Kemenangan Trump

Jakarta - Donald Trump telah kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada Pemilu yang… Read More

12 hours ago

Direktur Keuangan Bank DKI Raih Most Popular CFO Awards 2024

Jakarta - Romy Wijayanto, Direktur Keuangan & Strategi Bank DKI menerima penghargaan sebagai Most Popular… Read More

12 hours ago

Kredit Oktober 2024 Tumbuh 10,4 Persen, BI Beberkan Pendorongnya

Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat penyaluran kredit perbankan pada Oktober 2024 tercatat sebesar Rp7.576,8 triliun, atau… Read More

12 hours ago

Wamenkop: Koperasi jadi Solusi Pengentasan Kemiskinan dan Jeratan Rentenir

Jakarta - Kementerian Koperasi (Kemenkop) menegaskan peran strategis koperasi, khususnya Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam… Read More

12 hours ago

Presiden Prabowo Bawa Oleh-oleh Investasi USD8,5 Miliar dari Inggris

Jakarta – Optimisme para pelaku usaha di Inggris terhadap ekonomi di Tanah Air masih solid.… Read More

12 hours ago