News Update

Imbas RIM, BI Pastikan Kredit UMKM Tak Beralih ke Obligasi

BatamBank Indonesia (BI) menjamin dengan adanya aturan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), industri perbankan tidak akan mengalihkan porsi penyaluran kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) nya ke Surat-Surat Berharga (SSB), lantaran bank diyakini masih akan mengandalkan kredit ketimbang SSB untuk pertumbuhan kreditnya.

Aturan RIM yang akan mulai berlaku pada 16 Juli 2018 mendatang dikhawatirkan bakal mendorong perbankan lebih memilih membeli SSB seperti obligasi ketimbang menyalurkan kredit. Pasalnya, relaksasi penyaluran pembiayaan melalui obligasi ini memiliki risiko yang lebih rendah ketimbang bank harus menyalurkan kreditnya ke sektor-sektor yang risikonya tinggi.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo di Jakarta, Kamis, 12 April 2018 mengungkapkan, meskipun risiko pembiayaan melalui obligasi lebih rendah dibanding kredit, namun demikian keuntungan utama perbankan masih akan bersumber dari pendapatan bunga kredit, termasuk kredit di sektor UMKM.

Selain itu, kata dia, pihaknya sudah mengingatkan perbankan untuk bisa memitigasi risiko kredit bermasalah dari penyaluran kredit di tahun ini. Sehingga, bank-bank seharusnya sudah memiliki strategi untuk meningkatkan penyaluran kreditnya. BI memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak akan signifikan mengurangi jumlah kredit yang disalurkan bank ke nasabah.

“Karena rohnya perbankan itu adalah kredit. Saya tidak melihat, pada suatu saat nanti akan beralih bank lebih baik membeli surat berharga dibanding menyalurkan kredit,” ujarnya.

Lebih lanjut dirinya juga melihat, bahwa pendapatan bunga dari penyaluran kredit yang dilakukan perbankan masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan bunga dari obligasi. Menurutnya, pendapatan bunga masih menjadi sumber keuntungan bank, sehingga bank dinilai akan sulit meninggalkan intermemdiasi melalui kredit.

“Kalo menimbang dari bunganya, bunga kredit lebih besar daripada dia membeli surat utang, meski risikonya lebih rendah,” tegasnya.

Selain itu, tambah dia, bank-bank juga tidak bisa sembarangan jika ingin memanfaatkan relaksasi pembiayaan melalui surat berharga ini. Dody menjelaskan, pembiayaan obligasi yang dihitung sebagai kredit hanya untuk obligasi yang memiliki peringkat layak investasi dan diterbitkan korporasi non-bank dan non-IKNB.

“Surat berharga itu merupakan surat berharga yang rated, jadi yang punya rating dan kami akan juga mengatur bahwa SSB itu hrs yg berkualitas baik,” ucapnya.

Diberitakan sebelumnya, Pengamat Ekonomi Indef, Bhima Yudistira Adhinegara menilai, lewat aturan BI yang baru ini, kredit di sektor-sektor yang memiliki risiko tinggi seperti UMKM, bakal memicu bank-bank untuk beralih ke pembelian surat berharga ketimbang menyalurkan kredit. Hal ini akan berdampak pada arahan BI yang meminta perbankan untuk bisa meningkatkan porsi kredit UMKMnya.

Baca juga: Imbas RIM, Kredit UMKM Bisa Beralih ke Obligasi

“Apalagi kalau bank BUKU III dan IV itu mereka gak masuk fokus ke sektor UMKM. Mereka pasti akan balik lagi fokus ke kredit korporasi. Jadi bank lebih baik ngumpulin obligasi saja. Obligasikan lebih aman, risiko lebih kecil dibanding salurkan kredit,” papar Bhima.

BI mengeluarkan kebijakan RIM bertujuan untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan kepada sektor riil sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian. Namun BI memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak akan signifikan mengurangi jumlah kredit yang disalurkan bank ke nasabah.

Dalam ketentuan yang diterbitkan, ditetapkan RIM dengan target kisaran 80-92 persen baik untuk Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan memperluas komponen pembiayaan yang memasukkan Surat-Surat Berharga yang dibeli oleh BUK, BUS, dan UUS, dan memperluas komponen simpanan dengan memasukkan SSB yang diterbitkan oleh BUS dan UUS.

RIM merupakan parameter baru untuk menggantikan parameter rasio pendanaan terhadap simpanan (LFR). Perbedaan mendasar dari RIM dibanding LFR adalah perbankan dapat menyalurkan kredit atau pembiayaan dengan cara membeli obligasi korporasi, dan tidak hanya dengan menyalurkan pembiayaan kredit ke nasabah saja. Dengan begitu penyaluran kredit bank bakal lebih tertopang. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Gandeng BGN, ID FOOD Siap Dukung Program Makan Sehat Bergizi

Jakarta – Badan Gizi Nasional (BGN) menggandeng holding BUMN pangan ID FOOD dalam pelaksanaan program… Read More

2 hours ago

STAR Asset Management: Sektor Perbankan jadi Peluang Emas di Tengah Koreksi Pasar Saham

Jakarta – STAR Asset Management (STAR AM) mengajak investor memanfaatkan peluang saat ini untuk berinvestasi… Read More

3 hours ago

BNI Sumbang Rp77 Triliun ke Penerimaan Negara dalam 5 Tahun

Jakarta - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mencatatkan kontribusi terhadap penerimaan negara… Read More

13 hours ago

BI Gratiskan Biaya MDR QRIS untuk Transaksi hingga Rp500 Ribu, Ini Respons AstraPay

Jakarta - PT Astra Digital Arta (AstraPay) merespons kebijakan anyar Bank Indonesia (BI) terkait biaya Merchant Discount… Read More

13 hours ago

AstraPay Bidik 16,5 Juta Pengguna di 2025, Begini Strateginya

Jakarta - Aplikasi pembayaran digital dari grup Astra, PT Astra Digital Arta (AstraPay) membidik penambahan total pengguna… Read More

13 hours ago

Askrindo Dukung Gerakan Anak Sehat Indonesia di Labuan Bajo

Labuan Bajo – PT Askrindo sebagai anggota holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial… Read More

13 hours ago