Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah pada level 6.889,81 dari posisi 6.900,93 atau turun 0,16 persen, pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (8/7).
Berdasarkan statistik RTI Business pada perdagangan pasar saham hari ini, sebanyak 220,53 juta saham diperdagangkan, dengan frekuensi perpindahan tangan sebanyak 24 ribu kali, serta total nilai transaksi mencapai Rp180,42 miliar.
Kemudian, tercatat terdapat 109 saham terkoreksi, sebanyak 148 saham menguat dan sebanyak 225 saham tetap tidak berubah.
Baca juga: IHSG Diprediksi Melemah, Cermati Sederet Saham Ini
Research Phintraco Sekuritas, Ratna Lim sebelumnya memprediksi bahwa IHSG pada hari ini akan menguji level 6.800, bika bertahan di atas 6.900.
“Jika IHSG gagal bertahan di atas 6.900, diperkirakan IHSG akan kembali menguji level support di 6.800,” ucap Ratna dalam risetnya di Jakarta, 8 Juli 2025.
Padahal, lanjut Ratna, pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup menguat di level 6.900,93 atau naik 0,52 persen dan IHSG masih bergerak sideways dengan nilai dan volume transaksi yang jauh di bawah rata-rata harian.
“Investor cenderung bersikap wait and see, di tengah meningkatnya kondisi ketidakpastian seiring dengan semakin dekatnya dengan batas waktu pemberlakukan tarif pada 9 Juli serta potensi kenaikan tarif lebih tinggi pada 1 Agustus 2025,” imbuhnya.
Sentimen lainnya, datang dari data penjualan sepeda motor bulan Juni 2025 turun 0,3 persen year on year (yoy) (7/7), setelah pada bulan Mei 2025 juga turun 0,1 persen yoy. Penurunan ini disinyalir akibat melemahnya daya beli masyarakat.
Baca juga: Investor Simak! Dua Sentimen Berikut Bakal Pengaruhi Pasar Saham Pekan Ini
Selain itu, investor juga menantikan dirilisnya indeks Consumer Confidence bulan Juni 2025 pada hari ini (8/7) dan listing sejumlah saham IPO.
Di sisi lain, Indonesia juga mendapatkan surat dari Trump yang menyatakan bahwa Indonesia akan dikenakan tarif sebesar 32 persen mulai 1 Agustus 2025 dan tarif transshipment lebih tinggi.
Jika Indonesia memberlakukan tarif balasan kepada AS, maka tarif Indonesia juga akan dinaikkan.
Sebaliknya jika Indonesia atau perusahaan dari Indonesia memproduksi produk di AS tidak akan dikenakan tarif. Hal ini berpotensi menjadi faktor negatif di bursa di saat pasar berekspektasi adanya penurunan tarif. (*)
Editor: Galih Pratama










