Jakarta – Hasil riset lembaga think tank Indonesia Financial Group (IFG), IFG Progress menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia akan mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk kesehatan, seiring dengan tren kenaikan inflasi kesehatan di Indonesia.
Kondisi ini berdampak pada semakin meningkatnya nilai klaim kesehatan, sehingga industri asuransi kesehatan perlu menerapkan risiko pengelolaan yang prudent sejalan dengan nilai klaim yang berpotensi meningkat tersebut.
Senior Research Associate IFG Progress, Ibrahim Kholilul Rohman mengungkapkan, biaya kesehatan Indonesia pada tahun 2023 lalu diperkirakan tumbuh 13,6 persen atau lebih tinggi dibandingkan pada tahun sebelumnya sebesar 12,3 persen.
Pertumbuhan tersebut merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN, bahkan tercatat lebih tinggi secara rata-rata global.
Baaca juga : OJK Dorong Industri Asuransi Terapkan PSAK 117 pada 2025
Ibrahim menilai, biaya kesehatan yang tinggi tersebut timbul karena adanya inflasi kesehatan, yang terefleksi dari kenaikan harga layanan medis, obat-obatan, dan teknologi kesehatan.
Di sisi lain, gaya hidup yang tidak sehat, tingkat stres yang tinggi, polusi lingkungan, dan perubahan iklim yang turut menyebabkan meningkatnya penyakit kronis dan katastropik membutuhkan biaya perawatan lebih tinggi.
“Dengan angka inflasi kesehatan di atas 12 persen, jauh dari inflasi umum yang hanya 5,51 persen, masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mendapatkan perawatan. Ketika peningkatan inflasi kesehatan terjadi, biaya untuk rawat inap, konsultasi dokter, hingga pemeriksaan laboratorium cenderung ikut meningkat,” katanya, dikutip pada Jumat, 4 Oktober 2024.
Ia menjelaskan, untuk Indonesia, porsi biaya kesehatan yang ditanggung pemerintah sebesar 59 persen, sedangkan yang harus ditanggung sendiri oleh masyarakat sekitar 27 persen.
Baca juga : Masih Ada 9 Perusahaan Asuransi Belum Miliki Aktuaris
Karena itu, kondisi tingginya inflasi kesehatan perlu mendapat perhatian semua pihak karena berdampak kurang menyenangkan, baik bagi pemerintah dan juga masyarakat.
Kenaikan biaya kesehatan ini, lanjutnya menjadi beban berat bagi rumah tangga, terutama bagi mereka yang tidak memiliki asuransi kesehatan atau yang hanya mengandalkan asuransi kesehatan publik yang disediakan oleh pemerintah.
“Sementara kita tahu bahwa kesehatan merupakan komponen penting dalam mendukung perekonomian suatu negara karena kualitas kesehatan penduduk memengaruhi produktivitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Hasil riset tersebut juga menggarisbawahi beberapa daerah di Indonesia yang cenderung mengalami kenaikan biaya kesehatan yang tinggi, di antaranya di Pulau Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Deflasi Kesehatan
Sementara itu, di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Papua, terjadi fenomena deflasi pengeluaran kesehatan, yang menunjukkan biaya kesehatan pada 2023 lebih rendah dibandingkan 2022.
“Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh pada industri asuransi kesehatan. Tantangannya adalah bagaimana perusahaan asuransi dapat mengelola risiko dengan baik akibat kenaikan klaim di tengah tingginya inflasi kesehatan, dan strategi untuk memitigasi adanya perbedaan biaya kesehatan antar wilayah di Indonesia,” jelas Ibrahim.
Seperti diketahui, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat, hingga semester I-2024, rasio klaim kesehatan mencapai Rp11,83 triliun atau naik 26 persen secara tahunan atau year on year (YoY) .
Sementara itu, premi kesehatan yang diterima mencapai Rp11,19 triliun, naik 23,64 persen YoY. Hal ini menunjukkan jumlah klaim lebih tinggi dari premi yang diterima. (*)
Editor: Yulian Saputra