Hilirisasi Industri Sawit Berkelanjutan Harus Tetap Berpedoman pada SDGs

Hilirisasi Industri Sawit Berkelanjutan Harus Tetap Berpedoman pada SDGs

Jakarta – Pemerintah terus mendorong industri sawit berkelanjutan dari hulu hingga hilir. Industri sawit berperan penting untuk perekonomian Indonesia dengan kinerja perdagangan kelapa sawit yang terus meningkat. Industri ini juga melibatkan banyak pelaku usaha dari berbagai kelompok ekonomi. 

“Pengembangan industri hilir juga merupakan upaya strategis untuk meningkatkan nilai tambah industri kelapa sawit agar tidak hanya terkonsentrasi pada bahan baku, tetapi perlu terus didorong ke industri hilir bahkan sampai produk akhir. Dengan upaya ini, nilai tambah tentunya akan berada di dalam negeri,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Guru besar IPB University, Rachmat Pambudy menerangkan bahwa hilirisasai industri sawit berkelanjutan perlu berpegang pada Sustainable Development Goals (SDGs). Beberapa di antaranya adalah pembangunan tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, energi bersih dan terjangkau, penanganan perubahan iklim, serta berkurangnya kesenjangan.

“Pembangunan berkelanjutan harus ada payung besarnya yakni Sustainable Development Goals. Sawit juga diarahkan ke sana,” ucap Rachmat dikutip 21 Oktober 2022.

Untuk mewujudkannya, pemerintah perlu melakukan beberapa tahapan dan langkah. Pertama, pemerintah menjamin hak atas tanah para petani sawit kecil. Para petani sawit diberikan sertifikat hak milik atas tanah yang digunakannya dalam berkebun sawit tersebut. 

“Pertama, pemerintah harus memperhatikan petani sawit. Pertama yang diperhatikan adalah hak atas tanah. Bentuknya hak milik,” jelasnya.

Kemudian, pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan dan keteraksesan sarana produksi pertanian. Seperti bibit berkualitas, pupuk yang bagus, saluran irigasi yang mumpuni, akses pembiayaan, hingga jaminan harga yang layak. “Pemerintah harus menjamin bibit bagi petani sawit. Pupuk, irigasi, kredit yang layak dan pantas, harga yang bagus, jadi ada harga minimum TBS,” sambungnya.

Menurut Rachmat, pemerintah juga perlu mendorong realisasi industri hilir yang dimiliki petani. Hal itu penting untuk menjamin terlaksananya hilirisasi industri berkelanjutan. “Ada industri hilir yang dimiliki petani. Petani harus punya industri hilir,” paparnya.

Hilirisasi juga tidak lantas berhenti pada CPO, tapi berlanjut sampai minyak goreng. Ketika itu berhasil dilakukan, maka hilirasasi industri sawit berkelanjutan pun akan terwujud. “Hilirisasi sampai ke industri hilir, sedemikian rupa, sehingga ada efisiensi dari hulu, on farm hilir yang miliknya petani. Kalau itu terjadi maka SDGs akan terjadi,” pungkasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mendorong pemerintah untuk memperhatikan nasib buruh perkebunan sawit. Kata dia, jika RUU Perlindungan Buruh Pertanian dan Perkebunan masih mengantri masuk Prolegnas, minimal ada upaya untuk menjaga keselamatan para buruh.

“RUU ini mandek sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua sampai sekarang. Padahal, dilihat dari kelompok layanan, yang bisa berdampak sudah 20 juta,” katanya.

Jumlah buruh sawit diperkirakan sekitar 7-10 juta orang, beserta keluarga mereka bisa sampai 20 juta orang. Meski begitu, pemerintah masih bisa mengupayakan nasib para buruh sawit agar lebih membaik. “Pertama, perhatikan keselamatan kerja, K3, penting karena banyak terjadi sesuatu hal, seperti kecelakaan kerja, buruh tidak terurus,” tambah dia.

Dirinya juga menyoroti rendahnya pemerintah daerah mengadopsi kerangka kerja Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB). “Dari 25 provinsi yang memiliki tutupan sawit, yang mengadopsi baru 9 provinsi dan 14 kabupaten,” tutupnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News