Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group
KINI, terdengar bisik-bisik, bahkan teriakan, tentang suatu “ide” yang berkedok semangat kerakyatan. Namun, berbau “belerang” kebodohan kebijakan dan keserakahan kekuasaan: pengambilalihan paksa saham Bank Central Asia (BCA) oleh negara. Pemerintah lewat BPI Danantara didorong paksa untuk menjadi “Negara Preman”.
Suara “amis” itu tidak dari pemerintah. Awalnya dari Sasmito Hadinegoro, Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan (LPEKN), di Jakarta (12/8/2025) yang dikutip Inilah.com. ”Agar Kas Danantara Terisi Rp700 Triliun, Ekonom Sarankan Prabowo Ambil Alih 51 Persen Saham BCA”. Entah angka Rp700 triliun itu angka dari mana karena tidak dijelaskan. Apakah dari kapitalisasi pasar atau 51 persen aset BCA saat ini. Tidak dijelaskan. Atau, ilham dari langit?
Tiga hari berikutnya, dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), lewat Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB Ahmad Iman Syukri menyebut partainya mendukung usulan yang muncul di tengah publik, agar Presiden Prabowo Subianto bergerak cepat terkait 51 persen saham BCA.
“Pengambilalihan harus sesegera mungkin dilakukan untuk menyelamatkan uang negara. PKB mendukung penuh usulan agar Presiden Prabowo mengambil alih 51 persen saham BCA. Pengambilalihan saham BCA harus dengan segera dilakukan untuk menyelamatkan uang negara. Jangan sampai bangsa ini terus menerus dipermainkan,” kata Ahmad Iman Syukri kepada media.

Ide “sesat” pengambilalihan 51 persen saham BCA, bukanlah pupuk subur bagi kebun ekonomi nasional kita. Ia adalah “bom penghancur” yang siap meledakkan fondasi kepercayaan, stabilitas, dan kemajuan industri perbankan Indonesia yang telah susah payah dibangun. BCA, bagaimanapun memandangnya, adalah sebuah entitas pasar.
Pengambilalihan paksa 51 persen saham BCA oleh negara yang digaungkan segelintir elite politik dan satu ekonom bukanlah kebijakan kerakyatan, melainkan bom waktu yang siap meluluhlantakkan sendi-sendi perbankan nasional. Atas nama “penyelamatan uang negara” dan retorika semu, ide ini justru mengancam kepercayaan (trust)—fondasi paling vital sistem keuangan Indonesia.
Jika diterjang gelombang populisme sesat ini, Indonesia bukan hanya mundur ke zaman kelam bailout 1998, tetapi membuka peti mati bagi stabilitas ekonomi yang telah dibangun puluhan tahun. Pengalaman krisis multidimensi tahun 1998 harusnya seluruh stakeholder memahami tentang bahaya laten di sektor perbankan.
Delapan Dosa Fatal Pengambilalihan Paksa Saham BCA
Satu, pembunuhan kepercayaan pasar. Harus diakui, BCA adalah simbol tata kelola bank modern: efisien, inovatif, dan dikelola profesional. Kapitalisasinya Rp1.193 triliun (2024), tertinggi di ASEAN, dengan price book value 4,5x—bukti kepercayaan investor global dan domestik. Pengambilalihan paksa mengirim pesan kelam: “Hak kepemilikan bisa digasak negara kapan saja”. Imbasnya? Modal asing kabur, pasar modal kolaps, dan krisis likuiditas yang menyengsarakan rakyat kecil.
Dua, pengkhianatan terhadap kedaulatan hukum. Ide ini menginjak-injak UU Pasar Modal dan prinsip rule of law. Negara wajib jadi wasit adil, bukan “preman” yang merampas aset swasta dengan dalih politik. Jika aturan main diobrak-abrik, Indonesia akan dicap negara “preman” oleh komunitas global—investasi pun mengering.
Tiga, penjarahan kekayaan rakyat. Saham BCA dimiliki langsung/tak langsung oleh jutaan rakyat: dari petani lewat reksadana hingga dana pensiun. Pemaksaan akuisisi akan menghancurkan nilai portofolio mereka. Saat harga saham ambruk, reksadana pemula yang mengumpulkan Rp50.000 per minggu pun jadi korban pertama.
Empat, beban risiko dan mismanagement negara. Sejarah BUMN perbankan membuktikan: intervensi politik kerap buntutnya kredit macet, inefisiensi, dan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apalagi untuk bank sekelas BCA yang kompleks. Jika gagal kelola, negara akan memikul kerugian triliunan —dan rakyat lagi yang bayar.
Lima, pemakaman inovasi perbankan. Harus diakui BCA adalah pionir digital banking Indonesia. Persaingan ketatlah yang memacu inovasinya. Jika diambil paksa, bank ini akan berubah jadi birokratis dan lamban. Hilangnya kompetitor unggul ini membuat sektor perbankan kehilangan daya saing—dan nasabahlah yang dirugikan.
Enam, menempatkan pasar perbankan dalam bahaya rush. Risiko sistemik akan muncul, selain karena BCA merupakan bank sistemik karena besaran jumlah aset, modal, dan keterkaitan dengan sektor lain dan pihak lain. Jadi, risiko sistemik sudah di depan mata – yang diawali dengan rush dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankan.
Tujuh, BCA berperan besar dalam sistem pembayaran, kredit dan tentunya kontribusi pajak yang dibayarkan. Lihat saja, menurut annual report BCA, jumlah pajak yang dibayar untuk tahun 2024 lalu sebesar Rp21,8 triliun. Rinciannya, PPh Badan Rp12,8 triliun, withholding tax Rp8,4 triliun, dan PPN dan bea meterai Rp600 miliar. Itu tahun 2024, nah jika ditarik sepuluh atau 24 tahun sejak divestasi tentu jumlahnya bisa mencapai ratusan triliun. Itu belum dampak pajak dari debitur yang dibiayai bertumbuh besar secara ekonomi.
Delapan, proses penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan divestasi BCA telah selesai secara hukum. Menurut catatan Infobank Institute, Pemerintah Megawati menjual 51 persen saham BCA ke Konsorsium Farallon (2001) melalui strategic sale sesuai PP No. 17/1999 dan UU No. 25/2000.
Tidak hanya itu, audit BPK (2006) menegaskan: penyelesaian kewajiban pemegang saham lama (Salim Group) sudah final dan sesuai regulasi. Jadi, mengutak-atik sejarah BLBI BCA dengan dalih BLBI belum selesai adalah kebohongan publik! Masalahnya bukan di BCA, tapi pada obligor nakal yang belum dituntaskan. Kejar para obligor sontoloyo, bukan menghidupkan “hantu” masa lalu.
Jangan jadikan BCA sebagai “kambing hitam”, atau sasaran empuk untuk menutupi kegagalan mengatasi akar masalah yang sesungguhnya. Ini bukan solusi, ini pengalihan isu (smokescreen) yang mahal dan berbahaya. Harus dihentikan ide-ide “sesat” yang tidak punya dasar berpikir jernih. Apalagi, Indonesia sedang menuju era Indonesia Emas 2045.
Dan, sudah pasti efek ledakan dari “akuisisi paksa” akan menghancurkan kepercayaan, dan disusul rush – penarikan dana nasabah besar-besaran akan meruntuhkan perbankan. Lalu, efek domino meluluhlantakkan pasar modal. Dan, akan membebani negara dalam penyehatan perbankan. Pada akhirnya, mencekik rakyat kecil yang justru ingin kita lindungi.
Kita telah belajar dari krisis-krisis masa lalu. Ketidakpastian dan kebijakan yang semena-mena adalah resep pasti menuju kehancuran. Mari kita jaga stabilitas dan kepercayaan yang telah terbangun dengan susah payah ini. Trauma masyarakat masih ada hingga saat ini. Jadi tolak “ide sesat” dan berbahaya ini!
Langkah terbaik jika pemerintah tidak meneruskan ide yang tak masuk akal “pengambilalihan paksa” ini sebelum menjadi “bom waktu” — yang meledak di tangan kita semua. Daya ledaknya akan menghancurkan masa depan perekonomian Indonesia yang sedang menyiapkan jalan menuju Indonesia Emas 2045.
Fokuslah pada perbaikan tata kelola, pemberantasan korupsi, peningkatan akses keuangan bagi rakyat kecil, dan penciptaan iklim usaha yang adil dan berkeadilan. Jangan dibiarkan berlarut-larut, sebab akan menurunkan wibawa dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang sedang membangun ini.
Itulah jalan kerakyatan, dan keadilan yang sesungguhnya, bukan jalan “setan” perampasan dan pemaksaan. Ingat pesan Sang Begawan Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, salah satu poin penting mengapa ekonomi Indonesia tidak maju karena ekonomi biaya tinggi alias incremental capital output ratio (ICOR). Hentikan ekonomi biaya tinggi oleh negara dan lembaga-lembaga pemerintah.
Jangan mendorong menjadi “Negara Preman” dan negara tak boleh menjadi “preman” yang tidak ada dalam Program Asta Cita. Hargai konstitusi, hormati mekanisme pasar, dan jadilah fasilitator—bukan predator. Kerakyatan sejati adalah menciptakan sistem adil, bukan merampas aset swasta. Stop jadi “negara preman”!









