oleh Eko B Supriyanto
MAFIA investasi masih bergentayangan. Baik yang resmi maupun yang abal-abal. Juga yang di pasar modal. Tak sedikit di pasar gelap. Tidak hanya konvensional, tapi juga yang syariah. Mengapa mafia investasi masih subur di Indonesia. Ada dua hal penting; karena serakah dan karena investornya tuna investasi.
Ada 13 perusahaan investasi di pasar modal yang diduga menggerogoti Asuransi Jiwasraya. Tidak hanya Jiwasraya, sejumlah perusahaan asuransi juga terkena mafia yang sama. Kasusnya belum terungkap, karena masih ada polis baru yang berdatangan. Ya, semacam money game begitu tidak ada polis baru, maka akan meledak juga. Modusnya, tetap goreng-gorengan saham.
Yang abal-abal juga masih tetap ada. Yang terakhir adalah investasi Kampung Kurma, investasi syariah. Caranya memakai skema Ponzy. Selalu berulang serta menimbulkan korban. Apalagi sekarang ini hal-hal yang berbau syariah tampak laris manis. Properti syariah, juga kebun syariah.
Harusnya teliti sebelum membeli. Belakangan tersiar kabar investasi syariah Hartadinata dengan underlying property ramai diperbincangkan.
Sudah waktunya Satgas Waspada Investasi di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih aktif menelusuri cerita Hartadinata dan perusahaan-perusahaan investasi lainnya sebelum jatuh korban. Biasanya, begitu ada jatuh korban, soal investasi bodong ini pun terbuka. Sebab, ada ciri-ciri yang hampir sama dengan kasus investasi bodong sebelumnya; memajang foto dengan pejabat. Hartadinata secara terbuka memasang foto-foto dengan para pejabat, termasuk pejabat OJK.
Sebaliknya, jika perusahaan investasi Hartadinata ini benar-benar perusahaan yang jelas, maka segera diumumkan agar tidak menjadi fitnah.
Masalah mafia investasi, khususnya di pasar modal, setidaknya perlu diperhatikan serius. Jangan sampai masalah Jiwasraya adalah simpul awal dari masalah mafia pasar modal. Ada yang mencari dana pihak ketiga, padahal bukan bank. Ada goreng-gorengan saham, lalu ditempatkan di portofolio investasi asuransi. Kongkalikong.
Pembersihan mafia pasar modal sebaiknya diserahkan kepada pihak hukum. Sebab, praktik-praktik kotor pasar modal ini sudah berlangsung lama. Nama-nama yang beredar di pasar modal pun melegenda, seperti Al Capone yang tidak tersentuh. Termasuk media pun seperti sudah memahami sehingga tak meledak.
Yang terpenting sekarang belajar dari kasus Jiwasraya, bagaimana pemegang polis terlindungi. Namun, kalau produk investasi tentu lain cerita. Jika di perbankan sudah ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang menjamin dana pihak ketiga perbankan. Di asuransi belum ada penjaminan untuk pemegang polis.
Namun, sebelum Lembaga Penjamin Polis (LPP) berdiri, setidaknya masalah penjaminan untuk pemegang polis dapat ditempelkan di LPS lewat omnibus law yang akan dibuat. Jadi, pemegang polis akan mendapat ganti dari LPS. Tentu semua perusahaan asuransi harus diaudit, diawasi dengan baik. Perusahaan asuransi harus ditertibkan, dibereskan, dan harus membayar premi penjaminan berdasarkan risiko.
Jangan sampai, LPS menjadi tempat sampah dari buruknya asuransi. Industri perbankan yang sudah membayar premi selama 14 tahun tentu tidak akan mau uang preminya untuk membayar polis dari asuransi yang dikelola seperti Metromini ugal-ugalan. Industri asuransi dibereskan dulu. Jangan-jangan tidak hanya Bumiputera dan Jiwasraya, tapi ada yang disembuyikan dalam karpet.
Sekarang bayangkan saja, Jiwasraya masih hidup, tapi tidak mampu membayar polis. Bumiputera masih menerima premi, tapi masih juga tidak bisa membayar polis yang jatuh tempo. Mati tidak, tapi hidup tak bisa apa-apa. Strok.
Siapa-siapa yang terlibat harus diselesaikan lewat hukum. Jika ada kriminal tentu juga harus diproses. Tinggal lembaganya apakah hendak dimatikan atau terus dihidupkan.
Bayangkan, Jiwasraya milik negara tapi tak sanggup membayar polis yang jatuh tempo. Sebenarnya kepemilikan negara itu aman nggak sih? Negara saja tidak aman, apalagi swasta. Itulah pertanyaan warga Korea Selatan yang terperosok ke instrumen saving plan Jiwasraya yang diakibatkan, salah satunya, oleh 13 mafia di pasar modal.
Hal ini harus dicarikan jalan keluar. Negara harus hadir. OJK tidak boleh absen. Kita semua berharap OJK mampu membereskan mafia-mafia di pasar modal, dan di pasar gelap ini. Juga mafia di asuransi. Fenomena shadow banking makin marak dan di situlah otoritas tidak boleh absen. Kita memahami OJK sudah bekerja. Namun, dengan canggihnya keuangan, kita kepingin OJK lebih outstanding.
Jangan terlambat, karena mafia investasi lebih canggih dan sering berubah bentuk dengan pola yang sama. Wahai OJK, bekerjalah dengan baik sehingga menghasilkan pelaku jasa keuangan yang sehat. Industri sehat tentu tidak akan merepotkan keuangan negara seperti kasus Jiwasraya. (*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank