Stabilitas nilai tukar Rupiah tidak bisa dimungkiri memiliki peran vital dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambunan demi terjaganya kedaulatan Republik Indonesia. Bagaimana langkah BI menjaga kurs Rupiah tetap bisa merepresentasikan kedaulatannya di mata dunia? Paulus Yoga
Semenjak menjadi Negara merdeka, Indonesia punya pekerjaan rumah cukup besar untuk mendorong perekonomian yang berkeadilan dan menyejahterakan rakyatnya. Hal ini tentu tidak akan bisa tercapai tanpa adanya mata uang yang stabil, karena urusan perut orang banyak ini nyatanya perlu dukungan negara-negara tetangga dan mitra dagang.
Beberapa tahun terakhir nilai tukar Rupiah memang cukup tertekan karena terjadinya pembalikan arus modal asing atau yang populer disebut capital outflow. Ini terjadi mulai pertengahan tahun 2013, sekaligus mengakhiri masa bulan madu dari dana asing yang banyak mengalir masuk semenjak Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk menyetak Dolar lebih banyak dalam kebijakan stimulus moneter Quantitative Easing-nya. Tak tanggung-tanggung, bank sentral Amerika Serikat itu menyuntik USD4,2 triliun, dan membuat Dolar bertebaran masuk mengincar Negara-negara berkembang, yang nota bene memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi atau yang disebut sebagai emerging market.
Namun, masa tersebut berlalu seiring dengan langkah The Fed yang memutuskan untuk menghentikan kebijakan Quantitative Easing, bahkan berencana menaikkan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate) yang selama ini ditahan di level rendah. Lebay-nya, Dolar berbondong-bondong kembali ke Negeri Paman Sam, sebagaimana langkah investor yang memutuskan untuk kembali melirik mata uang Dolar yang memang merupakan mata uang safe haven, pun sikap infestor yang mencoba melihat situasi pasar pasca-wacana kenaikan Fed Fund Rate. Rupiah pun tertekan tajam bahkan sampai tembus Rp14.800/USD, level terendah yang dicapai mata uang RI semenjak krisis Asia tahun 1997-1998. Tepatnya, sebagaimana dicatat dalam kurs transaksi BI, kurs Rupiah ditransaksikan di level Rp14.654-Rp14.802/USD pada 29 September 2015.
Imbas pelemahan nilai tukar Rupiah ini membuat BI bersama pemerintah langsung menggelar rapat koordinasi, dan diputuskan dalam paket kebijakan BI sehari kemudian yang antara lain berisi:
(1) Menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, dilakukan dengan kehadiran BI di pasar valas domestik melalui intervensi di pasar forward. Di samping melakukan intervensi di pasar spot, Bank Indonesia juga akan melakukan intervensi di pasar forward guna menyeimbangkan penawaran dan permintaan di pasar forward. Upaya menjaga keseimbangan pasar forward semakin penting dalam mengurangi tekanan di pasar spot;
(2) Memperkuat pengelolaan likuiditas Rupiah, melalui penerbitan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) 3 bulan dan Reverse Repo SBN dengan tenor 2 minggu;
(3) Memperkuat pengelolaan penawaran dan permintaan valuta asing (valas):
– melalui pengelolaan supply & demand di pasar forward,
– penerbitan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) Valas,
– penurunan holding period SBI dari 1 bulan menjadi 1 minggu untuk menarik aliran masuk modal asing,
– pemberian insentif pengurangan pajak bunga deposito kepada eksportir yang menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di perbankan Indonesia atau mengkonversinya ke dalam Rupiah, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Pemerintah,
– mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi atas penggunaan devisa dengan memperkuat laporan lalu lintas devisa (LLD).
“Paket kebijakan Bank Indonesia tersebut akan bersinergi dengan paket kebijakan Pemerintah dalam mendukung prospek perekonomian Indonesia yang diyakini akan lebih baik ke depan,” ucap Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo kala itu.
Selain berbagai kebijakan yang ditekankan untuk mengatur pasokan dan permintaan valas, BI juga menggunakan kebijakan suku bunganya dalam mendukung stabilitas kurs Rupiah. Untuk mengembalikan nilai tukar Rupiah yang terjerembab, BI memutuskan untuk menahan suku bunga acuan atau BI rate tetap di level tinggi walaupun tingkat inflasi nasional sudah kembali normal sesuai target inflasi pemerintah di level 4% plus minus 1%. BI rate bertahan di atas 7% sejak 29 Agustus 2013 (Naik bertahap dari 5,75% untuk merespon kenaikan harga BBM), yang terus berlanjut akibat terjadinya capital outflow akibat kebijakan The Fed. Pada 18 November 2014, BI rate bahkan menyentuh level tertinggi dalam lima tahun ke belakang di level 7,75% untuk merespon ekspektasi pasar akan kenaikan Fed Fund Rate yang nyatanya terus molor hingga akhir tahun ini. Tingginya suku bunga acuan BI ini mau tak mau membuat ongkos ekonomi di negeri ini menjadi mahal, terutama dari sisi suku bunga kredit perbankan.
Sementara dari sisi cadangan devisa pun terus tergerus untuk menyuplai kebutuhan Dolar di pasar domestik yang masih besar. Cadangan devisa RI tertinggi tercatat mencapai USD124 miliar pada tahun 2011, namun nilainya terus menurun seiring dengan semakin aktifnya intervensi yang dilakukan bank sentral di pasar valas. Posisi cadangan devisa terakhir sebesar USD100,7 miliar per akhir Oktober 2015. (*)