Mengapa demikian? Itu tak lain untuk memotong mana kredit macet dilakukan oleh manajemen lama atau baru. Biasanya manajemen baru tidak mau dipusingkan dengan kredit bermasalah. Nah, setahun atau dua tahun kemudian tim direksi baru akan dapat durian runtuh dari jual-jual kredit yang sudah di-write off dengan cadangan penuh tadi.
Tidak mau dipusingkan oleh kredit macet masa lalu, tapi dapat menikmati “tulang-tulang” kredit macet yang diakui sebagai laba. Pola ini lazim terjadi pada bank-bank yang pemegang sahamnya kuat dan terutama oleh bank-bank asing. Hal ini tidak salah dan bahkan harus agar bank berjalan dengan benar dan cepat pulih. Penyelesaian kredit macet dengan pola parsial hanya akan menggeser masalah, atau hanya menyimpan bom waktu.
Baca juga: Bersih-bersih NPL Gaya Manajemen Baru PermataBank
Moral hazard juga bisa terjadi dalam write off ini. Debitur tidak membayar penuh tapi dengan akrobat dapat menguasai kembali asetnya melalui berbagai cara. Sejarah kredit di Indonesia sebelum krisis terjadi begitu masif, bagaimana debitur berpesta kredit, bahkan mendapat kredit dari banknya sendiri—dihapus buku sendiri, dibeli sendiri. Pendeknya, para debitur macet pun masih bisa mendapatkan asetnya dan pinjaman kembali.
Namun, write off sekarang ini sebenarnya sinyal apa? Bank-bank BUMN begitu cepat melakukan langkah hapus buku ini. Apakah beban NPL sudah begitu besar? Jika melihat laporan keuangan bank-bank di BUKU 4 dan BUKU 3, tidak salah jika menyebut saat ini bank-bank sedang bersih-bersih NPL. Angka NPL saat ini merupakan yang tertinggi setelah krisis perbankan 1998 lalu.
Situasi perkreditan memang sedang tidak kondusif; pertumbuhan kredit yang rendah, angka NPL yang naik. Hal ini tentu akan berdampak pada kredit ke sektor multifinance. Setelah sektor riil, khususnya komoditas yang selektif mendapatkan kredit, kini tiba masanya sektor multifinance. Hari-hari ini multifinance akan terkena dampak dari menyusutnya kredit perbankan. (Bersambung ke halaman berikutnya)