Jakarta – Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol akhirnya mencabut status darurat militer, pada Rabu pagi (4/12), usai diberlakukan secara mendadak pada Selasa (3/12) malam yang mengejutkan.
Yoon mengatakan, pemerintahnya melakukan hal tersebut setelah pemungutan suara parlemen bipartisan yang menolak darurat militer.
Tindakan tersebut secara resmi dicabut sekitar pukul 4.30 pagi waktu setempat, dalam rapat kabinet. Secara keseluruhan, darurat militer berlaku sekitar enam jam.
Alasan Darurat Militer Diumumkan
Diketahui, pada Selasa (3/12), Presiden Yoon memberlakukan darurat militer karena frustrasi terhadap oposisi, dan bersumpah untuk melenyapkan kekuatan “anti-negara”.
Baca juga : Trump Ultimatum BRICS: Gunakan Dolar AS atau Kehilangan Pasar Amerika
Di saat yang bersamaan, diirinya berjuang melawan lawan-lawan yang mengendalikan parlemen negara tersebut yang dituduh telah bersimpati dengan komunis Korea Utara.
Yoon mengatakan dalam pidatonya di televisi bahwa darurat militer akan membantu “membangun kembali dan melindungi” negara tersebut dari jatuh ke dalam kehancuran nasional.
Dia mengatakan akan memberantas kekuatan pro-Korea Utara dan melindungi tatanan demokrasi konstitusional.”
“Saya akan melenyapkan kekuatan anti-negara secepat mungkin dan menormalkan negara ini. Kami meminta masyarakat untuk percaya padanya dan menoleransi beberapa ketidaknyamanan,” katanya, dikutip CBS News, Rabu, 4 Desember 2024.
Berdasarkan konstitusi Korea Selatan, presiden dapat mengumumkan darurat militer selama masa perang, situasi seperti perang, atau keadaan darurat nasional lainnya, yang memerlukan penggunaan kekuatan militer untuk menjaga perdamaian dan ketertiban.
Namun, patut dipertanyakan apakah Korea Selatan saat ini berada dalam kondisi seperti itu.
Ketika darurat militer diumumkan, tindakan khusus dapat diterapkan untuk membatasi kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan hak-hak lainnya, serta kekuasaan pengadilan.
Konstitusi juga menyatakan bahwa presiden harus mematuhinya ketika Majelis Nasional menuntut pencabutan darurat militer dengan suara terbanyak.
Baca juga : Amerika dan China Memanas, RI Sebagai Mitra Dagang Harus Bagaimana?
Beberapa jam kemudian, parlemen melakukan pemungutan suara untuk mencabut deklarasi tersebut, dan Ketua Majelis Nasional Woo Won Shik menyatakan bahwa anggota parlemen akan melindungi demokrasi bersama rakyat.
Berdasarkan laporan BBC, resolusi tersebut disahkan dengan dihadiri 190 dari 300 anggota partai berkuasa dan oposisi, dan semuanya mendukung.
Personil polisi dan militer terlihat meninggalkan gedung Majelis setelah Woo menyerukan penarikan mereka. Lee Jae-myung, pemimpin Partai Demokrat liberal, yang memegang mayoritas di parlemen dengan 300 kursi, mengatakan anggota parlemen dari partai tersebut akan tetap berada di aula utama Majelis sampai Yoon secara resmi mencabut perintahnya.
“Anggota parlemen Partai Demokrat, termasuk saya dan banyak orang lainnya, akan melindungi demokrasi dan masa depan negara kita serta keselamatan publik, nyawa dan harta benda, dengan nyawa kita sendiri,” kata Lee kepada wartawan.
Pemakzulan Presiden Yoon
Saat mengumumkan rencananya untuk mencabut darurat militer, Yoon terus mengkritik upaya parlemen untuk memakzulkan pejabat penting pemerintah dan jaksa senior.
Dia mengatakan anggota parlemen telah terlibat dalam tindakan manipulasi legislatif dan anggaran yang tidak bermoral yang melumpuhkan fungsi negara.
Sementara itu, ratusan pengunjuk rasa berkumpul di depan majelis. Di mana, mereka mengibarkan spanduk dan menyerukan pemakzulan Yoon.
Beberapa pengunjuk rasa bentrok dengan tentara menjelang pemungutan suara anggota parlemen, namun tidak ada laporan mengenai korban cedera atau kerusakan properti besar.
Setidaknya satu jendela pecah ketika pasukan berusaha memasuki gedung Majelis. Seorang wanita gagal mencoba menarik senapan dari salah satu tentara, sambil berteriak, “Apakah kamu tidak malu!”. (*)
Editor: Galih Pratama