Jakarta– Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan mantan Direktur Bank Swadesi, Ningsih yang telah berganti nama menjadi Bank Of India Indonesia.
Ningsih Suciati bebas dari segala dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara dugaan tindak pidana perbankan dalam pemberian fasilitas kredit sebagaimana dilaporkan Direktur PT Ratu Kharisma, Rita Kishore.
“Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan,” kata Ketua Majelis Hakim M Sainal, dan dua hakim anggota, Ignatius Eko dan Kadarisman, Senin (6/12) .
Mengutip kesaksian Pakar Hukum Perbankan Yunus Husen yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam perkara tersebut, majelis hakim dalam pertimbangannya sependapat dengan saksi ahli bahwa pelanggaran standar operasional prosedur (SOP) dalam pemberian fasilitas kredit yang dilakukan terdakwa, sebagaimana didakwakan JPU, bukanlah ranah pidana.
Untuk dapat dikategorikan sebagai suatu peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan bahwa terdapat empat unsur yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan untuk dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.
Unsur-unsur tersebut adalah peraturan tersebut haruslah tertulis dan memuat norma hukum yang mengikat secara umum, dibuat oleh Lembaga Negara atau Pejabat yang berwenang, dibentuk melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dan harus diundangkan dengan menempatkannya pada salah satu tempat pengumuman seperti Lembar Negara, Tambahan Lembar Negara dan lain sebagainya.
Dengan demikian kata hakim jelas bahwa SOP tidaklah memenuhi kriteria suatu perundang-undangan.
Hakim memandang bahwa untuk lebih memahami praktik penerapan Pasal 49 ayat (2) huruf b, dapat diperhatikan beberapa putusan yang menerapkan ketentuan tersebut dengan benar seperti dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 001/PID/B/1998/PN.JKT.BAR, 13 April 1998 dengan terpidana Ahmad Febby Fadhillah, Komisaris Bank Citra dan Chandra W Direktur Bank Citra yang dijatuhi pidana tiga bulan dan denda empat puluh juta rupiah karena tidak melakukan langkah-langkah yang diminta secara tertulis oleh Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembina bank melalui empat surat pada tahun 1997 untuk memperbaiki pelanggaran yang terjadi seperti membeli obligasi atas nama bank, tetapi tidak tercatat pada pembukuan bank.
Begitu pula putusan nomor 22/Pid.Sus/2018/PN WNO dan dikuatkan oleh putusan nomor 51/Pid.Sus/2018/PT YYK. Dalam perkara ini majelis hakim menjelaskan bahwa pelanggaran SOP saja tidak cukup untuk memenuhi ketentuan pidana dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b. Majelis hakim menekankan bahwa yang dimaksud dengan tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini artinya bank tidak melaksanakan hal-hal yang telah diperintahkan oleh Bank Indonesia (saat ini OJK) kepada bank tersebut.
Dalam perkara ini, PT Bank Perkreditan Rakyat Agra Arthaka Mulya telah dinilai oleh OJK berada dalam kondisi membahayakan kelangsungan usahanya, telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus, dan telah diberikan waktu yang cukup kepada pemegang saham dan pengurus bank untuk melakukan upaya guna penyehatan banknya namun tidak berhasil.
Atas putusan tersebut, Fransisca Romana, Penasihat Hukum Ningsih Suciati menyatakan menghormati putusan Majelis Hakim yang telah memutus sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan menunggu sikap Jaksa Penuntut Umum atas putusan tersebut.
Sebelumnya, pakar hukum perbankan Yunus Husein dalam kesaksiannya sebagai ahli di persidangan perkara twrsebut menyatakan pelanggaran SOP bank tak masuk ranah pidana. Pernyataan itu ia sampaikan saat menjadi saksi ahli dalam sidang kasus dugaan tindak pidana perbankan dengan terdakwa mantan direksi Bank Swadesi, Ningsih Suciati.
Menurutnya, penerapan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan untuk menjerat Ningsih, bersifat prematur. Sehingga, kata dia, pasal itu tidak tepat untuk diterapkan.
Apalagi belum ada temuan dari pengawas dan regulator bank bahwa Bank Swadesi melanggar UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini dibuktikan dengan tidak adanya surat pembinaan (supervisory action) atau sanksi administratif yang dikenakan pengawas kepada bank,” kata mantan kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) itu.
Yunus menuturkan Pasal 49 ayat (2) huruf b bersifat “administrative penal law”. Artinya, harus ada dulu pelanggaran yang bersifat administratif dan ditegakkan dengan hukum administratif. Apabila penegakan hukum administratif tidak berjalan, barulah diselesaikan secara pidana.
“Hanya apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan sanksi pidana sebagai pamungkas atau ultimum remedium,” tutur Yunus.
Dalam kasus Bank Swadesi, menurut Yunus, tidak ditemukan bukti adanya laporan pelanggaran atau penyimpangan yang diketahui oleh pengawas bank (Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan). Hal ini berdasarkan pemeriksaan atau laporan yang disampaikan bank.
Kalaupun ada laporan dari luar bank tentang penyimpangan yang dilakukan, lanjut dia, pengawas bank akan melakukan pemeriksaan untuk memverifikasi atau memvalidasi kebenaran laporan tersebut.
“Bentuk perintah pengawas bank kepada bank itu bisa berupa surat pembinaan (supervisory action), action plan, atau yang populer dikenal dengan cease and desist Order. Kalau Langkah-langkah yang diperintahkan oleh pengawas bank tidak ada, maka berarti tidak ada pelanggaran yang dilakukan bank,” imbuhnya.
Adapun JPU belum memberi keputusan terhadap upaya atau langkah yang akan dilakukan terkait putusan bebas murni majelis hakim tersebut.
Kasus dugaan ini sendiri bermula pada tahun 2008 dimana kala itu Rita Kishore Kumar Pridani dan Kishore Kumar Tahilram Pridani selaku direksi PT Ratu Kharisma mendapatkan fasilitas kredit dari Bank Swadesi Rp10,5 miliar dengan agunan berupa tanah seluas 1.520 meter persegi di daerah Seminyak, Bali.
Baru membayar 230 juta yang diambil fasilitas kredit, dengan kata lain belum
membayar hutang dari kantongnya sendiri, Ratu Kharisma kemudian lalai atas kewajibannya dan tidak lagi membayar bunga dan angsuran sejak Juni 2009. Pemberitahuan, peringatan, dan pemutusan kredit sudah dilakukan, tapi mereka tetap tidak melaksanakan kewajibannya.
Merujuk Pasal 6 UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Peraturan Menteri Keuangan No 40 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Keuangan No 93 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Lelang dan pencatatan objek agunan melibatkan Kantor Pertanahan (BPN), pihak bank lantas mengajukan lelang umum di KPKNL Denpasar.
Hasilnya, aset tersebut laku senilai Rp6,38 miliar setelah melalui lima kali proses lelang. Namun, PT Ratu Kharisma tidak puas dengan hasil lelang tersebut karena nilai lelang jauh di bawah nilai pasar.
Saat lelang keempat, debitur bahkan meminta kreditur menghapus utang Rp5 miliar. Jumlah ini merujuk pada putusan hakim dalam gugatan wanprestasi. Selisih dari nominal utang dipotong nilai aset yang dilelang. Namun, permintaan itu ditolak pihak bank.
Setelah melalui proses panjang, akhirnya keduanya melaporkan komisaris, direksi, dan karyawan Bank Swadesi ke Polda Bali atas dugaan melakukan tindak pindana perbankan. (*)