Gerakan Boikot Produk Diduga Terafiliasi Israel jadi Momentum Kebangkitan Brand Lokal

Gerakan Boikot Produk Diduga Terafiliasi Israel jadi Momentum Kebangkitan Brand Lokal

Jakarta – Belakangan, gerakan boikot terhadap merek global yang dinilai terafiliasi dengan Israel kian meluas di kalangan konsumen muslim. 

Fenomena ini mencerminkan kesadaran baru, di mana konsumen muslim tidak hanya mencari produk halal, tetapi juga memperhatikan isu-isu keadilan, kemanusiaan, dan keislaman.

Dalam acara Indonesia Muslim Market Outlook (IMMO) 2025, riset Inventure teranyar menunjukkan bahwa 89 persen responden lebih memilih mengganti produk global yang diboikot dengan brand lokal Islami. 

Momentum ini menjadi peluang bagi brand lokal Islami untuk berkembang dan memperkuat posisi mereka di pasar.

“Ini bukan sekadar tren, tetapi sebuah perubahan pola konsumsi. Konsumen muslim kini lebih sadar akan maqashid syariah—bahwa setiap pilihan konsumsi harus membawa manfaat, baik secara ekonomi, sosial, maupun spiritual,” ujar Yuswohady, Managing Partner Inventure dalam IMMO 2025, di Jakarta, 6 Maret 2025.

Menurutnya, dengan peluang ini, brand lokal bisa menegaskan identitasnya sebagai brand asli Indonesia yang mendukung nilai-nilai kebaikan, termasuk kepedulian terhadap isu sosial. 

“Brand lokal juga bisa membangun narasi dengan memosisikan diri sebagai pilihan konsumen muslim yang menekankan bahwa produknya adalah alternatif yang sesuai dengan prinsip halal dan mendukung ekonomi umat,” jelasnya.

Baca juga : KFC Indonesia Babak Belur di Tengah Boikot Produk Israel jadi Sorotan Media Asing

Namun peluang itu juga, kata dia, mengandung pekerjaan besar bagi brand lokal Islami, yakni terus-menerus mengokohkan daya saing dengan mendongkrak manfaat fungsional (functional benefit) dan manfaat emosional (emotional benefit) dari produk, tak cukup hanya sekadar identitas Islam. 

Alasannya, konsumen tetap menuntut kualitas, inovasi, dan layanan brand lokal Islami yang setara atau lebih baik dari merek global.

Ia mencontohkan, merek-merek kosmetik halal kini tak cukup hanya mengandalkan branding Islami berikut label halalnya, tetapi juga meningkatkan teknologi dan kualitas produk agar dapat bersaing di pasar yang lebih luas. 

Hal yang sama berlaku di sektor makanan, fashion, dan layanan keuangan berbasis syariah.

Senada, hasil studi Populix berjudul “Understanding Public Sentiment on the Boycotts Movement Amid the Palestine-Israel Dispute”, menemukan bahwa sebanyak 65 persen responden muslim menyatakan kepatuhan mereka terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI).

MUI sendiri telah mengeluarkan Fatwa MUI No. 83 tentang Hukum Dukungan untuk perjuangan Palestina ini. 

Sementara, Head of Social Research Populix Vivi Zabkie mengatakan, keberadaan fatwa MUI ini sudah mencapai tingkat kesadaran yang tinggi hingga mencapai 94 persen di kalangan masyarakat Indonesia, baik di kalangan masyarakat Muslim maupun non-Muslim.

Baca juga : Tegas! MUI Keluarkan Fatwa Haram Beli Produk Israel, Ini Isinya

“Seruan boikot ini sangat kuat, sehingga awareness atas fatwa ini tak hanya dari umat Muslim, tapi juga non-Muslim. Bahkan, responden non-Muslim pun menyatakan dukungan mereka atas boikot. Hal ini mungkin terjadi karena isu ini adalah isu kemanusiaan yang tidak mengenal sekat agama,” jelasnya.

Dampak Boikot Produk Afiliasi Israel

Di lain sisi, kata Vivi, dampak dari gerakan boikot ini sudah mulai dirasakan oleh perusahaan dan juga merek yang dikaitkan mempunyai afiliasi dengan Israel. 

Pada kuartal IV 2023, McDonald’s menghadapi penurunan total pendapatan secara global sebesar 4 persen jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Salah satu waralaba restoran terbesar di dunia ini menjadi salah satu target dari gerakan boikot. 

Menilik lebih spesifik pada pasar Indonesia, penurunan penjualan cukup signifikan terjadi pada merek-merek yang berada di bawah naungan Unilever. 

Pada kuartal IV 2023, pendapatan Unilever tercatat turun hingga 20 persen jika dibandingkan kuartal sebelumnya. Selain pada sisi pendapatan, terjadi juga penurunan pada harga saham yang dialami perusahaan pemegang merek yang terkena dampak boikot seperti Starbucks yang turun hingga 12 persen pasca gerakan ini.  

Meskipun sebagian besar responden Muslim menyatakan setuju dengan fatwa dan berkomitmen untuk patuh, fatwa ini tapi tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat Indonesia. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

News Update

Netizen +62