Jakarta – Digitalisasi dan inovasi teknologi menjadi hal yang tak bisa dihindarkan di masa kini. Semua pihak berlomba-lomba untuk mengadopsi teknologi digital demi bisnis dan pelayanan yang lebih efisien dan optimal. Adopsi teknologi serta inovasi itu mengikuti tren akan kebutuhan efisiensi dan efektifitas di masyarakat. Dan salah satu sektor yang tak luput dari kebutuhan tersebut adalah perbankan.
Industri perbankan, apalagi dengan lahirnya layanan financial technology atau fintech saat ini semakin terdorong untuk mengadopsi dan mempercepat inovasi teknologi digitalnya, seperti yang diungkapkan oleh Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja. Jahja beberkan pihaknya bahkan sampai membentuk sistem mini company atau micom, untuk mempercepat proses digitalisasi di BCA.
“Kita coba speed up, upgrade teknologi kita. Bagaimana kita comply dan sejalan dengan fintech-fintech itu. Kita belajar, harus berani mengubah sistem. Waktu itu, satu program atau fitur saja itu bisa setahun, dua tahun, termasuk perizinan. Lama sekali. Akhirnya, dari sistem waterfall yang butuh persetujuan bertahap, kita ubah, kita dirikan mini company-mini company,” ujar Jahja saat mengisi sesi Sharing from Visionary Leader bertema Beyond Banking pada acara Infobank 13th Digital Brand Awards 2024 di Shangri-La Hotel Jakarta, Senin, 1 April 2024.
Baca juga: Bos BCA: Agility Itu Penting Bagi Sektor Perbankan
Jahja ungkapkan bahwa saat ini pihaknya sudah punya 64 mini company dengan total anggota sekitar 1.900 pekerja. Mini company ini, Jahja jelaskan, banyak ditugaskan untuk mengerjakan proyek-proyek yang berkaitan dengan inovasi serta pengembangan produk, termasuk dalam bentuk fitur di dalamnya.
“Dengan kita mengubah sistem seperti itu, maka ke depan itu kita bisa mempercepat. Bahkan, satu sampai dua bulan satu fitur sudah selesai kita kerjakan,” paparnya.
Ia lalu menerangkan ada tiga fungsi utama dari dibentuknya mini company di BCA. Pertama, berfungsi sebagai hustler. Hustler itu adalah pihak yang in charge dalam proses bisnis perusahaan. Tim hustler perlu mengetahui kebutuhan nasabah. Mereka di tim hustler adalah yang memiliki pengetahuan bisnis yang baik karena akan menentukan apa yang diperlukan oleh konsumen, sehingga pembuatan produk atau fitur tidaklah sia-sia.
Kedua adalah hipster. Tim hipster terdiri atas para ahli design tampilan dan user interface antar divisi internal serta user experience. Hipster akan menganalisa kebutuhan atas kenyamanan konsumen dalam menggunakan suatu platform dalam kaitannya dengan design tampilan platform dan sejenisnya.
“Terakhir, adalah tim hacker. Bukan bertujuan untuk mencuri data, namun berfungsi untuk membuat program-program di komputer. Nah, micom itu isinya adalah mereka itu. Kemudian, didampingi tim compliance, legal, itu perlu sekali untuk mendampingi. Dan ini bukan waterfall, mereka kita berikan wewenang itu seperti parallel move. Jadi, at the same time, mereka bekerja dan memproduksi hasil yang jauh lebih cepat,” kata Jahja.
Baca juga: Teknologi AI Jadi Risiko Paling ‘Mengerikan’ pada 2026
Ia katakan, pada awalnya tak mudah menjalankan sistem mini company tersebut karena pihaknya perlu memberikan kepercayaan dan kewenangan bagi mini company-mini company itu untuk menjalankan fungsinya. Namun, pada akhirnya konsep mini company tersebut terbilang sukses, sehingga bisa melahirkan produk-produk yang inovatif dan user-friendly. Lahirnya mini company ini tak bisa dilepaskan dari gempuran fintech pada tujuh tahun lalu.
“Tujuh tahun yang lalu itu betul fintech berkembang sangat pesat. Mereka mulai datang ke Indonesia, mulai kelihatan e-commerce, mereka mulai membentuk e-wallet yang berkembang terus. Mereka katakan, lihat nanti perbankan konvensional akan kita libas katanya. Jadi, kita ngeri juga saat itu ya,” tukasnya. (*) Steven Widjaja