Bogor — Bank Indonesia (BI) mencatat ada empat tantangan utama yang harus disikapi oleh bangsa Indonesia, terutama bagi generasi muda atau generasi milenial dalam menjawab perubahan zaman yang begitu cepat.
Kepala Departemen Komunikasi BI Agusman menyampaikan tantangan pertama adalah menguatnya peran emerging market, termasuk Indonesia sebagai episentrum dari aktivitas dan dinamika dunia. Hal ini sejalan masih tingginya laju pertumbuhan ekonomi negara berkembang.
Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang terjaga, lanjut Agusman, kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) negara berkembang seperti Indonesia diproyeksikan akan mencapai 50 persen dari porsi PDB dunia pada 2050.
“Dampaknya, pelaku usaha dunia akan memfokuskan bisnisnya kepada negara-negara yang tergolong emerging markets. Dengan kondisi tersebut, apakah Indonesia akan menjadi pemain utama atau hanya sekadar penonton,” ujar Agusman ketika membawakan Kata Sambutan Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo dalam Pembukaan Leadership Camp Generasi Baru Indonesia (GenBI) 2017 di Bogor, Jumat, 8 Desember 2017.
Leadership Camp merupakan program tahunan BI dalam pengembangan wawasan, pengalaman, dan motivasi kepemimpinan bagi GenBI. Sementara itu, GenBI adalah wadah komunitas bagi mahasiswa penerima beasiswa dari BI.
Agusman menambahkan, tantangan kedua adalah kehadiran teknologi yang semakin mendominasi kehidupan, baik dari sisi skala, cakupan, serta dampak yang ditimbulkannya. Teknologi di satu sisi dipandang dapat mendorong layanan yang lebih transparan pula dan efisien di mata konsumen.
Namun, kata pria berkacamata ini, di saat yang sama keberadaan teknologi juga membawa risiko disrupsi yang tidak kecil. Dengan bantuan sistem otomasi, kecerdasan buatan, maupun konsep internet of things dalam dua tahun ke depan, diperkirakan akan ada 5 juta pekerjaan yang hilang akibat munculnya inovasi di bidang teknologi.
“Oleh karena itu, jangan heran jika dalam waktu dekat, saingan terdekat kita bukan lagi tenaga kerja lulusan universitas ternama, melainkan keberadaan teknologi terapan termutakhir,” ujarnya.
Sementara tantangan ketiga, sambungnya, adalah perubahan komposisi demografi penduduk dunia. Perubahan yang kemudian berimbas pada produktivitas maupun dinamika dunia.
Contoh ekstrim, komisi PBB untuk Statistik Ekonomi Eropa mengungkap bahwa di tahun 2050 jumlah penduduk di negara Austria hanya sebanyak 8 juta jiwa. Hal itu tidak jauh berbeda dengan jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Selatan saat ini. “Fenomena ini yang selanjutnya memperkecil ketersediaan tenaga kerja sehingga mendorong pelemahan produktivitas sekaligus perilaku konsumsi negara Eropa,” tukas lulusan Universitas Andalan tersebut.
Sedangkan tantangan terakhir adalah fenomena kehadiran generasi milenial. Generasi muda yang senantiasa penuh dengan ide-ide segar, namun di saat yang sama juga haus akan pengakuan. “Generasi milenial memiliki selera, nilai-nilai, serta gelora yang berbeda dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan yang berbeda dalam penangannya,” tutur Agusman.
Ia menambahkan, bangsa ini membutuhkan generasi muda yang unggul guna menjawab tantangan-tantangan tersebut. Generasi pengisi pembangunan yang memiliki semangat nasionalisme tinggi yang akan memperjuangkan kepentingan dan tujuan mulia pendirian bangsa ini.
Selain itu, lanjutnya, generasi penerus bangsa juga harus memiliki semangat untuk berpikir secara kreatif dan berinovasi, agar gagasan segar dapat senantiasa lahir dan bertumbuh. “Saya juga berharap agar Generasi Baru Indonesia tidak menjadi generasi instan yang mengagungkan raihan materi dan kekuasaan semata,” pesannya kepada 440 peserta Leadership Camp Generasi Baru Indonesia. (*)