Gen Z dan Milenial Terancam “Mati” Perdata karena Jebakan Utang “Rentenir” Online

Gen Z dan Milenial Terancam “Mati” Perdata karena Jebakan Utang “Rentenir” Online

Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group

“Beri Aku 10 Pemuda, Niscaya Akan Kuguncangkan Dunia,” (Bung Karno)

KATA-KATA mutiara dari Soekarno tentang pemuda ini penuh pesan bijak dan inspiratif. Kutipan ini menunjukkan bahwa pemuda yang bersatu dapat menghimpun kekuatan luar biasa yang dapat mengubah dunia. Akan tetapi, nyatanya sekarang ini banyak Generasi (Gen) Milenial dan Gen Z yang terjebak utang “rentenir” online atau pinjaman online (pinjol). 

Gen Z dan Milenial, dalam 10 tahun sampai 20 tahun yang akan datang akan “mati” secara perdata. Tahun 2045 – Indonesia Emas bisa jadi akan menjadi mimpi buruk. Bonus demografi hanya menjadi beban berat bagi negara, dan bukan sebuah berkah. Kalau tidak diantisipasi dari sekarang, maka kata-kata mutiara dari Soekarno itu hanyalah mimpi buruk. Sebuah bencana karena “kematian” massal secara perdata akan terjadi.

Jangan kaget. Menurut data statistik financial technology (fintech), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Juni 2023, peminjam usia muda 19 tahun sampai dengan 34 tahun punya porsi pinjaman sebesar Rp26,9 triliun. Ini 57% dari seluruh pinjaman yang diguyur fintech dari total Rp47 triliun. Jumlah rekeningnya hampir mencapai 11 juta rekening. Lebih mengejutkan lagi anak-anak seusia anak sekolah menengah atas (SMA) atawa Gen Z (usia 8-23 tahun) – di bawah 19 tahun mempunyai saldo pinjaman mencapai Rp169 miliar.

Angka itu tidak termasuk portofolio dari pinjol ilegal – yang tentu akan menambah portofolio pinjaman individu. Seperti biasa, pinjaman tidak selalu lancar. Pinjaman macet Gen Z dan Milenial pun bikin cemas. Secara persentase, kredit bermasalahnya sudah tujuh persen. Lihat saja angka kredit bermasalahnya menembus Rp1,9 triliun, dan yang macet mencapai Rp764 miliar.

Baca juga: Indonesia Nikmati Bonus Demografi, Awas! Bahaya Pinjol Mengintai

Secara kasar ada sekitar 770.000 anak muda, yang terdiri atas Gen Z dan Milenial, yang terancam masa depannya. Jika ini terus berlanjut, maka secara perdata mereka anak-anak muda ini akan mati secara perdata. Artinya, mereka tidak akan bisa mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, karena masuk blacklist (SLIK) – dulu BI Checking.

Gaya Hidup Konsumtif

Banyak kasus anak-anak muda terseret utang pinjol. Data Infobank Institute mencatat, di awal September 2023 ini, terungkap, ada 58 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) terjerat pinjol dan rentenir. Mereka menggunakan uang untuk membiayai gaya hidupnya. Jalan-jalan dan nonngkrong di kafe.

Tahun 2020 lalu, berbeda, ada ratusan (116) mahasiswa IPB tertipu pinjol dengan menggunakan data palsu. Mahasiswa IPB ini ditipu oleh seseorang untuk dipakai data pribadinya untuk memperoleh pinjaman dari pinjol yang tidak dinikmati. Ratusan mahasiswa IPB ini tertipu. Hampir sama, terjadi pada Ospek Mahasiswa Baru (Maba) UIN Surakarta yang dipaksa kakak kelasnya untuk menyerahkan data, karena perusahaan Fintech lending ini menjadi sponsor Ospek Maba.

Terlalu banyak untuk diceritakan mahasiswa korban pinjol ini. Terakhir seorang mahasiswa UI telah membunuh adik kelasnya. Jalan pintas dilakukan karena terjerat pinjol dan dikejar-kejar oleh debt collector dengan cara-cara primitif. 

Mereka di 2045, meski kelak mempunyai uang, tak akan bisa melakukan pinjaman untuk beli rumah, atau untuk beli kendaraan. Pokoknya segala bentuk fasilitas pinjaman. Bahkan, ada kabar, anak-anak muda yang masuk SLIK tak akan bisa mendapatkan pekerjaan formal. Apalagi bekerja di lembaga keuangan, seperti bank. Madesu, masa depan suram bagi mereka yang masuk SLIK, karena secara perdata sudah “mati”.

Banyak sebab, kredit macet terjadi. Bisa saja anak-anak muda ini tergoda budaya konsumtif. Gaya hidup hedonisme. Pengin dilihat wah, dan tak paham bahwa pinjaman itu harus dikembalikan, kendati tanpa jaminan. Lebih parah lagi, pinjam untuk membeli barang-barang konsumtif, hura-hura bahkan untuk beli tiket konser.

Baca juga: Anak Muda Gemar Gunakan Pinjol dan Paylater Untuk Konsumtif, Ternyata Karena Hal Ini

Dan, pernah terjadi, ketika pasar modal boom, banyak anak muda ini pinjam secara online untuk main saham. Hari-hari ini bikin geleng kepala untuk main judi online atau game online. Mengawatirkan gaya hidup sebagian besar anak-anak milenial sekarang, prakmatis. Ingin cepat kaya, tapi tak memahami bahwa pinjaman dijadikan jalan pintas untuk membiayai gaya hidup.

Di sisi yang sama pinjol ini menggempur anak-anak muda lewat media sosial. Hampir seluruh channel YouTube dijejali iklan pinjol. Syarat ringan dan mudah. Kontennya tak sedikit yang menyesatkan. Tinggal klik, langsung cair. Yang legal maupun ilegal, semua sama-sama menawarkan kemudahan pinjaman. Soal bisa membayar atau tidak, tampaknya tidak terlalu penting.

Dalam sebuah diskusi yang dilakukan Infobank Institute, para pinjol ini ada yang memang sengaja mencari sebanyak-banyaknya debitur. Hal itu dilakukan karena makin banyak data peminjam, maka valuasinya makin mahal ketika hendak dijual. Sebelum musim “winter” datang, “berhalanya” para fintech ini tak lain adalah valuasi. 

Maka, sebar uang ke mana-mana bukan masalah. Hitung-hitung biaya promosi dan menggaet data debitur. Anak-anak muda yang mengelola fintech P2P kurang “paham” bahwa kalau lempar kredit itu harus kembali. Mereka para penyembah “berhala” valuasi. Mereka bukan seperti  bankir, yang napasnya hati-hati. 

Bahkan, menurut penuturan pihak berwajib, para pinjol ini ada yang kepanjangan tangan sebagai “pencucian uang” lewat pinjol. ”Jadi, balik 30 persen saja dari modal yang diguyurkan sudah untung, karena uang kotor yang dari China langsung menjadi uang suci kembali, menjadi uang bersih dan aman masuk ke sistem perbankan,” demikian kata seorang penegak hukum.

Dan, indikasi pencucian uang bukanlah omong kosong. Pinjol-pinjol ilegal itu ada yang menjadi kepanjangan tangan untuk dijadikan “binatu” uang. Para pinjol ini sebar uang ke mana-mana, termasuk kepada Gen Z yang usianya antara 18 dan 23 tahun. Inilah bukti “ngawurnya” rentenir online ini.

Bisa jadi itulah mengapa suku bunga pinjol tinggi sekali. Ada yang 1%, dan belakangan dikoreksi menjadi 0,8% sehari. Atau, sebulan 24% dan setahun 288%. Sekarang Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan, suku bunga tak lagi 0,8% sehari. Namun, diusulkan antara 0,4% sampai 0,6%. Atau, anggap saja menjadi 0,4% sehari, maka sebulan pun masih 12%, dan setahun 144%. Masih besar. 

Karena itu, OJK harus mengoreksi total suku bunga fintech ini. Sebab, suku bunga 0,4% per hari masih relatif tinggi. Harus dipaksa lebih rendah lagi. Apalagi, bunga berbunga. Bahkan, cicilan pokok bisa lebih tinggi daripada beban bunganya. Plus denda jika menunggak. Tidak salah jika pinjol disebut “rentenir” online. Kalau perlu moratorium izin P2P lending, dan melakukan fit and proper test ulang kepada pengurus dan pemiliknya. Apalagi sekarang, era bakar uang sudah usai, maka para pinjol pun membabi buta dalam menagih piutang macetnya.

Dan, karena itu pulalah, OJK perlu membatasi ruang gerak “brutal” para fintech P2P ini, karena sudah banyak korban berjatuhan. Faktanya anak-anak Gen Z dan Milenial punya beban yang tak kecil karena “rentenir” online ini. Harus diakui, OJK juga sudah banyak membabat habis pinjol ilegal. Minggu lalu OJK sudah menutup 288 pinjol ilegal dan 15 pinjaman digital lewat platform Facebook. 

Tak berlebihan, meski OJK sudah ketat dalam pengawasan terhadap P2P lending yang ada, namun perlu memperketat izin fintech yang hadir atas nama inklusi keuangan. Sisi baiknya fintech di Indonesia, boleh jadi mempercepat inklusi keuangan. Masyarakat jadi lebih mudah mengakses keuangan dengan kehadiran fintech ini. Akan tetapi, para fintech yang hadir di tengah-tengah masyarakat juga harus punya tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat. Tidak semata-mata menyebar jala pinjaman konsumtif, tapi juga pinjaman produktif. Para pengelola pinjol harus di fit and proper test sekualitas bankir.

Sementara, izin untuk fintech relatif mudah. Beda dengan perbankan yang harus melewati seleksi yang ketat. Syarat yang bertele-tele. Harus melalui kesehatan bank, modal minimum, masuk kelompok KBMI berapa, dan infrastruktur yang memadai. Juga, faktor manajemen risiko serta kelangkapan IT dan SDM-nya.

Harusnya perizinan layanan digital lending di perbankan lebih dipermudah. Ada perbedaan perlakuan dalam soal layanan digital lending ini antara fintech dan bank. Izin untuk bank lebih berat syaratnya dibandingkan dengan fintech. Ada baiknya, bank juga diberi kemudahan dalam izin digital lending ini. Apalagi, bank-bank ini lebih afdal tata kelolanya. Sampai saat ini, ada anggapan BI lebih mudah memberikan izin fintech payment system dibandingkann jika bank yang meminta izin.

Baca juga: Dear Milenial, Begini Cara Membedakan Pinjol Legal dan Ilegal

Jangan sampai kehadiran fintech yang merajalela dengan tawaran kredit konsumtif ini akan menjadi malapetaka bagi Gen Z dan Milenial di tahun-tahun mendatang. Tanggung jawab melakukan literasi bukan hanya berada di pundak OJK semata. Harus diakui pula, OJK sudah banyak melakukan literasi yang juga masif. Bahkan, OJK sudah lama masuk ke kampus-kampus untuk sosialisasi program literasi. Program-program edukasi kepada masyarakat sudah banyak dilakukan OJK belakangan ini dan lebih masif.

Sudah saatnya OJK tidak dibiarkan sendiri. Harus diperkuat dan didukung, termasuk oleh pemerintah daerah (pemda) dengan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Juga, harus dilakukan di sekolah-sekolah lewat program pemerintah di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, di media massa, termasuk para pejabat politik untuk ikut berbicara edukasi keuangan. 

Tak ketinggalan, Bank Indonesia (BI) juga wajib ikut mengedukasi masyarakat tentang literasi keuangan. Apalagi, kejahatan siber (cyber crime) yang terjadi di Indonesia sebagian besar atau jika tidak dibilang 100% dilakukan lewat BI-Fast. Selama ini yang terlihat hanya OJK yang aktif bicara dan melakukan sosialisasi literasi ini. 

Pun, program dari Kementerian Komunikasi dan Informatika harus menyentuh edukasi kepada masyarakat tentang perencanaan keuangan. Menurut survei Literasi OJK, tahun 2022 tingkat literasi masyarakat masih 49,68%. Sedangkan tingkat inklusi mencapai 85,10%. Ada gap yang lebar yang akan menimbulkan komplikasi. Sebab, masyarakat membeli produk keuangan tanpa memahami produknya. Bak membeli kucing dalam karung. 

Gerak P2P Lending Dibatasi

Tidak mudah, tapi bukan tidak bisa. Harus diakui, hal tersulit dalam mengelola keuangan – ketika tidak ada uangnya. Kemewahan yang dipertontonkan di layar-layar kaca televisi telah menghipnotis anak-anak muda untuk pragmatis. Bagaimana cepat kaya. Konsumtif. Padahal, di balik pinjaman itu ada kewajiban untuk mengembalikan.

Generasi Z dan Milenial ini perlu diselamatkan masa depannya. Jangan sampai anak-anak muda ini mengalami “kematian” perdata di masa yang akan datang. Masuk dalam blacklist OJK itu mengerikan. Selain tak bisa mendapatkan kredit dari bank, baik untuk KPR, kredit mobil, maupun fasilitas kredit yang lainnya. 

Jangan anggap enteng. Untuk itu, belilah yang Anda butuhkan dan jangan yang Anda inginkan.  Jika hendak menyelamatkan Gen Z dan Milenial dari “kamatian” perdata di masa yang akan datang, maka ruang gerak fintech harus dibatasi. Salah satu caranya, turunkan suku bunga sehingga tidak menarik lagi bagi fintech. Tapi, memang pinjol illegal ini yang meresahkan. Mati satu tumbuh seribu. Sulit, meski sudah ribuan ditutup, tetap saja “ganti baju” bergentayangan.

Bagi Indonesia, yang 1 dari 2 penduduknya adalah generasi muda, menyelamatkan anak-anak muda ini wajib. Mereka harus diselamatkan. Jadi, tanggung jawab edukasi bukan hanya di pundak OJK, tapi kita semua, termasuk “rentenir” online sendiri – yang berperan besar dalam memasukkan anak-anak muda ke dalam blacklist dengan begitu brutalnya.

Baca juga: Tren Pinjol Melesat jadi Ancaman Pertumbuhan Kartu Kredit

Mereka anak-anak Gen Z dan Milenial – jika tidak membayar pinjamannya – boleh jadi  bukan karena kelakuannya. Tapi, anak anak muda ini sedang tersesat ke jalan konsumerisme yang mengepung hidupnya lewat layar telepon pintar (smartphone). Mereka tidak tahu bahwa 10 atau 20 tahun lagi malapetaka blacklist akan menjadikan kuburan atas “kematian” secara perdatanya.

Jangan sampai Gen Z dan Milenial terancam “mati” secara perdata karena jebakan utang “rentenir” online yang sekarang bisa jadi Indonesia masuk “darurat” pinjol. Sedang marak-maraknya menawarkan kemudahan pinjam uang – yang faktanya anak-anak muda ini juga sudah macet, dan berpotensi macet, seperti banyak cerita duka para mahasiswa yang terjerat pinjol ini.

Selamatkan Gen Z dan Milenial dari jeratan utang pinjol. Sudah waktunya ditertibkan sambil terus mendidik publik tentang perencanaan keuangan. Entah, bagaimana jika Soekarno hidup di masa sekarang ini dengan melihat korban-korban pinjol yang sebagian besar anak-anak muda, wanita dan guru ditingkat lebih dewasa. 

Jangan pinjam untuk membiayai gaya hidup. Belilah yang Anda butuhkan, dan jangan beli yang Anda inginkan. Berbahaya. Sebab, “tuyul-tuyul” digital bergentayangan yang akan menutup masa depan Anda ke depan. Dan, para capres harus ikut “cawe-cawe” tentang bencana utang anak-anak muda ini, karena gaya hidup, atau karena kemiskinan struktural yang kemudian ditawarkan kemudahan berhutang?

Related Posts

News Update

Top News