Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI, Yoyok Riyo Sudibyo menanggapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus bergulir sejak tahun lalu. Menurutnya, gelombang PHK ini bukan sekadar gejolak bisnis biasa, melainkan indikasi krisis sosial-ekonomi yang mengancam kehidupan masyarakat.
“Ini bukan hanya soal angka. Ini soal ribuan keluarga yang kehilangan penghasilan, anak-anak yang terancam putus sekolah, dan masyarakat yang makin terpinggirkan. Badai PHK ini merupakan potret kepedihan yang nyata,” ujar Yoyok, dikutip dari dpr.go.id, Selasa, 15 April 2025.
Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, dalam dua bulan pertama tahun 2025 saja, lebih dari 18.000 pekerja kehilangan pekerjaan. Sejak awal tahun, sejumlah perusahaan besar telah melakukan PHK massal.
Beberapa di antaranya adalah PT Sritex (10.665 pekerja), PT Yamaha Music Product Asia, PT Yamaha Indonesia, PT Sanken Indonesia, dan PT Victory Ching Luh. Wilayah Jawa Tengah, Riau, dan DKI Jakarta mencatat jumlah PHK tertinggi.
Baca juga : Pemerintah Segera Bentuk Satgas PHK dan Deregulasi Perizinan
Jika melihat data sepanjang 2024, sektor industri padat karya menjadi yang paling terpukul. Yoyok berharap pemerintah bisa memberikan solusi terhadap kondisi ini.
“Negara harus hadir, banyak sekali sektor industri yang terpukul akibat beratnya kondisi perekonomian global, dan berbagai faktor internal dalam negeri. Khususnya industri padat karya yang harus dilindungi,” tutur mantan Bupati Batang tersebut.
Tekanan Global Perburuk Keadaan
Politisi Fraksi Partai NasDem itu menyebut tantangan yang dihadapi industri padat karya tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari tekanan global.
Salah satunya adalah rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menaikkan tarif impor, yang dikhawatirkan dapat menggerus daya saing ekspor Indonesia, khususnya produk tekstil dan manufaktur.
“Jika negara lain memperketat pasar, sementara kita tidak memperkuat fondasi industri dan perlindungan tenaga kerja, maka PHK hanya akan terus berulang,” ujar Yoyok.
Baca juga : Komisi VI DPR Dukung Penghapusan Kuota Impor, Tapi Ingatkan Risiko PHK Massal
Oleh karena itu, anggota komisi DPR bidang urusan perindustrian, pariwisata dan ekonomi kreatif itu meminta pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret. Ia menyarankan agar negara memberikan insentif bagi industri padat karya.
“Pemerintah juga perlu meningkatkan program pelatihan bagi korban PHK agar beradaptasi dengan kebutuhan pasar, serta pendidikan maupun pelatihan program vokasi agar industri kreatif dan non-formal dapat semakin berkembang,” sebutnya.
Reformasi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
Selain itu, Yoyok juga menilai reformasi sistem jaminan sosial ketenagakerjaan perlu dilakukan. Tujuannya agar korban PHK tidak hanya bergantung pada pesangon.
Menurutnya, para pekerja yang terkena PHK harus mendapatkan pelatihan, pendampingan, dan subsidi upah transisi.
Baca juga: Tarif Impor Trump Ancam Industri Tekstil RI, PHK Diprediksi Bertambah
“Perlindungan terhadap industri padat karya merupakan langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional serta memastikan keberlanjutan lapangan kerja bagi jutaan tenaga kerja Indonesia,” jelas Yoyok.
Perlu Ekosistem Kerja yang Tangguh
Selain itu, Yoyok juga berharap pemerintah melalui kementerian terkait, dapat menyusun rencana pemulihan ketenagakerjaan secara nasional. Ia menekankan pentingnya menciptakan ekosistem kerja baru yang lebih tangguh, tidak sekadar mengandalkan pesangon atau program reaktif.
“Negara memiliki peran penting. Konstitusi menjamin hak setiap warga negara memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak,” tegas Legislator asal Dapil Jawa Tengah X itu.
Baca juga: Womenomics: Banyak PHK, Wanita Lebih Resilien dan Harus Diberdayakan
“Sudah saatnya kita memastikan bahwa kebijakan publik tidak hanya bergantung pada mekanisme pasar semata, tetapi juga berpihak pada kesejahteraan seluruh rakyat. Termasuk perlindungan bagi pekerja industri padat karya,” pungkasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra