Oleh Eko B. Supriyanto
GEGER unit link. Bola panas unit link liar ke mana-mana. Bahkan, sampai keluar ide moratorium dari Senayan. Sampai sekarang gonjang-ganjing unit link belum reda. Malah kian memanas karena penyelesaian kasus unit link ini juga tidak seragam, dan pilih kasih. Perlukah unit link distop penjualannya?
Menurut data Infobank Institute yang diolah dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam tiga tahun terakhir ini jumlah pengaduan ke OJK terus meningkat. Bahkan, lebih dari dua kali jika dibandingkan dengan posisi tujuh tahun lalu. Tahun 2015 pengaduan layanan mengenai asuransi baru 1.834, lalu menjadi 4.611 (pada Agustus 2021). Bisa jadi angkanya meningkat lagi pada akhir 2021 lalu.
Ada beberapa hal yang dikeluhkan: ketidaksesuaian produk, unit link disamakan dengan investasi, tidak ada welcome call kepada semua konsumen, keberatan turunnya investasi (unit link), minimnya bukti yang mendukung konsumen (rekaman) dan penolakan klaim (pre-existing condition), dan tidak paham ketentuan. Semua itu membuat pemegang polis “berteriak” keras sampai sekarang.
Setelah 25 tahun produk unit link gemuk, kini bencana pun datang. Bahkan, kasus unit link ini masuk ke gedung wakil rakyat, DPR RI Komisi XI yang mengurusi sektor keuangan dan perbankan. Sejumlah anggota Komisi XI dengan senang menerima umpan bola lambung dari para korban unit link ini. Lalu, terucap, perlu dilakukan moratorium penjualan unit link sampai masalahnya reda, atau dengan perbaikan.
Meski demikian, pihak industri yang diwakili oleh Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), masih sombong dengan pernyataan yang tidak simpatik, dalam satu acara pada tanggal 21 Desember 2022, Togar Pasaribu, Direktur Eksekutif, menyebut produk unit link masih dibutuhkan masyarakat apapun pun opini yang terbentuk di masyarakat.
Togar Pasaribu menyimpulkan “anjing menggonggong kafilah berlalu” ini karena data pertumbuhan produk asuransi masih “lebat”. Pada Kuartal III 2021 produk unit link tumbuh 9 persen secara tahunan dari Rp85,6 triliun menjadi Rp93,3 triliun. Lebih mengherankan Togar Pasaribu, pertumbuhan unit link lebih besar dari produk asuransi.
“Data menunjukan apa yang diomongin di luar, apa pun yang terjadi di luar sana, unit link masih tetap dibutuhkan masyarakat. Saya juga bingung, tapi data dan fakta menunjukan demikian,” kata Tigor Pasaribu, Direktur Eksekutif AAJI pada Asuransi Outlook 2021 (21/12/2021).
Sesungguhnya pernyataan dari AAJI tidak ada rasa simpati sama sekali apa yang terjadi terhadap nasabah-nasabah unit link yang sengsara dimakan janji. Apa yang dikemukakan AAJI jangan sampai nasabah yang membeli merupakan korban baru yang tidak memahami produknya. Lihat saja, sampai sekarang saja masih ada yang juga membeli polis bumiputera dan Jiwasraya. Aneh. Penyataan Direktur Eksekutif AAJI ini seperti mengindahkan fakta-fakta yang ada di lapangan soal unit link sekarang ini.
Ini Salah Siapa, Ini Dosa Siapa?
Siapa yang salah dengan unit link ini? Menurut Infobank Institute, semua pihak punya kontribusi kesalahan. Dan, yang paling nyaring terdengar adalah mis-selling, dan OJK mengakui itu. Jualan unit link kayak sopir tembak. Habis jualan, ditinggal begitu saja. Urusan belakangan.
Isi “kepala” agen dan sales dengan model multilevel marketing (MLM) adalah komisi dan komisi. Closing-closing prospek. Isi pelatihannya motivasi dengan iming-iming hadiah jalan-jalan ke luar negeri. Sering kali yang jualan saudara dan teman sendiri. Para agen terlepas dari kantor perusahaan asuransi. Hal yang berbeda dengan sektor perbankan.
Pokoknya jualan, closing dan dapat komisi tebal. Titik. Padahal, ada kesalahan target pemasaran. Juga, kesalahan cara pemasaran. Lebih parah lagi, ada malpraktik dalam perekrutan agen asuransi. Plus diperparah dengan kesalahan pelatihan.
Bahkan, yang bikin geleng-geleng kepala adalah ketidaktepatan dalam struktur biaya. Pemberian komisi yang sangat besar dengan durasi yang pendek, sementara usia polis dalam jangka waktu yang lebih panjang. Jadi, tidak heran kalau sales kayak sopir tembak.
Beberapa bank yang juga menjual produk asuransi (bancassurance) tidak sedikit yang “memeras” perusahaan asuransi dengan menetapkan fee yang tidak kecil. Bank memasukkan fee asuransi ini sebagai fee based income dan tentu pada akhirnya dibebankan ke tertanggung.
Perusahaan asuransi juga termasuk pihak yang perlu disalahkan. Sering kali perusahaan asuransi melepas agen tanpa pendidikan yang memadai. Rekrutmen sales sepertinya menjadi tanggung jawab agen sendiri. Tidak ada pendidikan yang memadai, kecuali motivasi yang berhalanya komisi.
Lebih parah lagi, pihak perusahaan asuransi pilih kasih dalam menyelesaikan masalah. Kasus Wanda Hamidah merupakan salah satu yang dikecualikan. Juga para kepala daerah yang keras menuntut, yang akhirnya “diselesaikan” masalahnya. Pun dengan seorang karyawan di Karawang yang melakukan hal sama. Terus “berteriak” lebih keras, lalu dibayar. Selesai.
Pilih kasih inilah yang membuat nasabah yang dirugikan terus berteriak dan tentu ini memperburuk risiko reputasi yang seharusnya dijaga oleh perusahaan asuransi. Reputasi bagi perusahaan jasa dan terutama asuransi menjadi penting dan utama, karena kalau tidak dijaga akan memperburuk masa depan perusahaan asuransi sendiri.
Itulah hal-hal yang perlu diperbaiki. Lantas, bagaimana masa depan unit link? Desakan untuk moratorium unit link tidak seharusnya dilakukan. Unit link tetap boleh dijual, tapi dengan banyak catatan. Ada hal-hal yang perlu dilakukan, yaitu kelembagaan seperti tata kelola termasuk sumber daya manusia dan IT serta modal minimum yang memadai. Selanjutnya, desain produk menyangkut klausul pilihan pemegang polis (waiting period dan cuti premi). Juga menyangkut investasi dana, seperti pembatasan ke pihak terkait dan transparansi underlying investasi.
Untuk delivery produk seperti agen asuransi harus punya bukti lulus pelatihan dan tentu ada welcoming call yang 100%. Dan, untuk pemantauan produk perlu laporan bulanan ke nasabah dan laporan kinerja produk ke OJK.
Nah, dengan perbaikan dan dukungan SE OJK, maka produk unit link bisa dilanjutkan. Silakan jualan produk unit link dengan cara-cara yang baik. Bukan dengan cara terus membodohi nasabah – yang jujur saja perlu dilakukan edukasi oleh semua pihak. Hal ini juga perlu didukung dengan pengaturan dan pengawasan ketat dari OJK, tanpa harus menunggu komisioner OJK periode yang baru.
Kita sama-sama saling memperbaiki kekurangan produk unit link – agar bisa dijual lagi tanpa menyimpan “bom waktu” di masa datang. Namun pernyataan AAJI tanpa rasa “bersalah” sedikit pun dengan menyebut apa kata orang di luar, faktanya unit link masih tetap tumbuh, maka itu melukai korban-koban unit link yang kini “kempes” kekayaannya. Janji ketika membeli lima tahun lalu tak terpenuhi.
Mari selamatkan pembeli unit link sekarang juga, jangan sampai lima atau sepuluh tahun ke depan korban-korban berjatuhan. Jika industri tak mau memperbaiki maka ada baiknya dilakukan moratorium sampai benar-benar diperbaiki. Pernyataan dari AAJI, “anjing menggonggong kafilah berlalu’ sungguh tak memberi rasa simpatik.
Produk unit link dilanjutkan tentu dengan banyak catatan, tapi jika tidak diperbaiki “dosa-dosa” unit link maka pilihan moratorium akan lebih baik, sampai sang penjual dan industri ada yang salah dalam produk unit link meski sekarang nasabah yang buta asuransi pun masih membeli. (*)
Jakarta – Badan Gizi Nasional (BGN) menggandeng holding BUMN pangan ID FOOD dalam pelaksanaan program… Read More
Jakarta – STAR Asset Management (STAR AM) mengajak investor memanfaatkan peluang saat ini untuk berinvestasi… Read More
Jakarta - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mencatatkan kontribusi terhadap penerimaan negara… Read More
Jakarta - PT Astra Digital Arta (AstraPay) merespons kebijakan anyar Bank Indonesia (BI) terkait biaya Merchant Discount… Read More
Jakarta - Aplikasi pembayaran digital dari grup Astra, PT Astra Digital Arta (AstraPay) membidik penambahan total pengguna… Read More
Labuan Bajo – PT Askrindo sebagai anggota holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial… Read More