Jakarta – Bank OCBC NISP menggugat sita jaminan atas harta yang dimiliki para tergugat, salah satunya bos PT Gudang Garam Tbk (GGRM) Susilo Wonowidjojo. Penyitaan tersebut merupakan babak baru kasus ganti rugi atas kredit macet PT Hair Star Indonesia (HSI) senilai Rp232 miliar yang belum terbayarkan sejak Juni 2021.
Dalam hal ini Bank OCBC NISP menyampaikan gugatan ke Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo tertanggal 16 Agustus 2023, disebutkan para tergugat dan turut tergugat terbukti secara sah, bersama-sama, langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan PT HSI untuk kepentingan pribadi yang mengakibatkan kerugian terhadap Penggugat.
Kuasa Hukum Bank OCBC NISP, Hasbi Setiawan mengatakan dalam gugatan meminta ganti rugi secara materill USD16,5 juta atau senilai Rp232 miliar dan immateril Rp1 triliun dari harta pribadi para tergugat atas kredit macet tersebut.
Baca juga: Kejar Kredit Macet, Bank OCBC NISP Tuntut Bos Gudang Garam Rp232 Miliar
“Tuntuan dari gugatan ini adalah harta pribadi para tergugat secara tanggung renteng,” kata Hasbi dalam keterangan resmi, Senin 21 Agustus 2023.
Dia menambahkan bahwa kerugian materiil berdasarkan utang atau kredit macet PT HSI sebesar USD16,5 juta, sedangkan kerugian immaterial Rp1 triliun terdiri dari kerugiaan atas manfaat dan keuntungan yang kemungkinan akan diterima oleh Bank OCBC NISP dikemudian hari serta meningkatnya nilai Non Performing Loan (NPL) dari bank yang mengakibatkan kredibilitas bank pada Bl Rating menurun.
Hasbi menjelaskan, materi kesimpulan tersebut dijelaskan secara gamblang bahwa tindakan yang dilakukan oleh para tergugat telah memenuhi beberapa unsur. Pertama, unsur perbuatan melawan hukum. Ini sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata.
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut,” katanya.
Para tergugat dan turut tergugat melaksanakan Perjanjian Kredit dengan itikad tidak baik dan tidak sesuai dengan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata.
“Mereka mengetahui atau dapat memperkirakan PT HSI tidak dapat melunasi utangnya kepada Bank OCBC NISP, tetapi para tergugat dan turut tergugat 1 tetap melakukan peralihan saham atau perubahan direksi dan komisaris (organ perseroan) tanpa adanya persetujuan dari Bank OCBC NISP, meskipun adanya larangan melakukan peralihan atas saham maupun perubahan organ PT HSI (negative covenant) dalam Perjanjian Kredit yang telah disepakati,” ujar Hasbi.
Kedua, ada unsur kesalahan atau schuld dengan tidak memberitahukan dan meminta persetujuan akan adanya peralihan pemegang saham dan perubahan susunan organ perseroan (PT HSI) sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit. Para tergugat mengetahui dan dapat memperkirakan bahwa PT HSI tidak dapat membayar utang.
Baca juga: Ada Sosok Taipan Kasus BLBI di Balik Tutupnya Waralaba Texas Chicken Indonesia, Siapakah Dia?
Ketiga, adanya unsur kerugian akibat adanya peralihan hak atas saham dan perubahan susunan organ perseroan (PT HSI) yang mengakibatkan PT HSI pailit sehingga tidak dapat melunasi utang ke Bank OCBC NISP.
Keempat, adanya unsur hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ada. Pada 17 Mei 2021, dilakukan pemindahan hak atas saham PT HSI yang dimiliki PT Hari Mahardika Usaha (HMU) kepada Hadi Kristanto Niti Santoso, serta pengunduran diri Daniel Widjaja sebagai Komisaris Utama PT HSI. Adapun PT HMU adalah perusahaan yang 99,99 persen sahamnya dimiliki Susilo Wonowidjojo.
Lalu pada 25 Mei 2021, Lianawati Setyo (adik dari Meylinda Setyo) mengundurkan diri sebagai Wakil Direktur Utama PT HSI. Dimana saat kredit diajukan PT HSI ke Bank OCBC NISP pada Oktober 2015, Meylinda Setyo (istrinya Susilo Wonowidjojo) bertindak sebagai Presiden Komisaris karena kepemilikan 50% sahamnya di PT HSI, dan Lianawati Setyo sebagai Wakil Presiden Direktur. Saham Meylinda Setyo pun akhirnya beralih kepada PT HMU sejak 15 November 2016.
Pada 14 Juni 2021, PT HSI diajukan permohonan PKPU oleh CV. Duta Prima dengan tagihan Rp340,25 juta. Nilai ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan total tagihan Bank OCBC NISP US$16,5 juta atau senilai Rp 232 miliar. Jika dilihat dari laporan keuangannya, PT HSI masih mampu membayar cicilan kepada Bank OCBC NISP US$ 190.017 per 15 Juni 2021.
Lalu pada 26 Juni 2021 untuk pertama kalinya PT HSI lalai melaksanakan kewajibannya kepada Bank OCBC NISP di mana pada awal Juli 2021 PT HSI baru menginformasikan kepada Bank OCBC NISP bahwa telah terjadi perubahan susunan pemegang saham, direksi dan komisaris. Selanjutnya pada 12 Juli 2021, PT HSI dinyatakan dalam keadaan PKPU sementara dan pada 27 September 2021 PT HSI dinyatakan dalam keadaan pailit.
Baca juga: OJK Terbitkan Aturan Kepailitan dan Penundaan Utang Pada Perusahaan Efek
“Terbukti tindakan para tergugat dalam melakukan peralihan hak atas saham dan perubahan susunan organ perseroan PT HSI, menyebabkan suatu rangkaian peristiwa, yang merupakan itikad buruk dari para tergugat dan turut tergugat I untuk menghindari pembayaran utang PT HSI kepada Bank OCBC NISP, bahkan PT HSI sampai dinyatakan dalam keadaan Pailit,” ungkap Hasbi.
Adapun, pihak-pihak yang digugat oleh Bank OCBC NISP yakni Susilo Wonowidjojo (tergugat 1), PT Hari Mahardika Usaha (PT HMU) (tergugat 2), PT Surya Multi Flora (tergugat 3), Hadi Kristanto Niti Santoso (tergugat 4), dan Dra Linda Nitisantoso (tergugat 5).
Kemudian, ada Lianawati Setyo (tergugat 6), Norman Sartono M.A (tergugat 7), Heroik Jakub (tergugat 8), Tjandra Hartono (tergugat 9), Daniel Widjaja (tergugat 10) dan Sundoro Niti Santoso (tergugat 11) serta PT HSI (turut tergugat 1), dan Ida Mustika S.H (turut tergugat 2). (*)
Editor: Galih Pratama