Jakarta – Literasi keuangan di Indonesia masih rendah. Data yang diperoleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 2022, menunjukkan dari skala 5, indeks literasi digital masyarakat Indonesia ada di angka 3,54.
Di tahun yang sama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengeluarkan survei, yang menyatakan masih ada gap sebesar 35 persen antara literasi keuangan dan inklusi keuangan Tanah Air.
Menurut Diana Yumanta, Kepala Grup Pengembangan UMKM dan Pelindungan Konsumen Bank Indonesia (BI), salah satu alasannya adalah masih kurangnya kepedulian masyarakat terhadap keamanan data.
“Ternyata kenapa, ini belum mentok nih (poinnya)? Karena ternyata masih ada hal yang perlu ditingkatkan, antara lain adalah kepedulian terhadap pelindungan data,” ungkap Diana pada acara Dialog Inspiratif AstraPay dengan tema “Pengembangan Literasi Keuangan Digital Berbasis QRIS: Pendekatan Inovatif untuk Wilayah Indonesia”, Kamis, 13 Juni 2024.
Baca juga: Biaya Top Up Saldo Uang Elektronik Dinilai Bebani Masyarakat, Begini Kata BI
Untuk memastikan hal ini, Bank Indonesia (BI) juga merilis survei literasi konsumen terhadap pembayaran digital di Indonesia pada 2022. Mereka menemukan skor yang dimiliki oleh warga Indonesia masih berada di angka 63,76 dari 100. Tandanya, mereka sudah cukup kritis, namun masih di bawah harapan.
“Ternyata hasil survei kita menunjukkan bahwa saat ini kita pada posisi yang baik, artinya konsumen kita sudah sadar, sudah paham, sudah mampu dan sudah mulai kritis. Tetapi, kenapa masih ada hambatan? Karena kita masih menghadapi tantangan-tantangan terkait dengan keamanan,” terang Diana.
Diana menyebut, tingkat keamanan gawai masyarakat Indonesia masih rendah, berada di angka 67,3 persen. Pun halnya dengan kesadaran dalam melindungi data pribadi, yang berada di angka 56,6 persen.
Beberapa penyebabnya, menurut Diana, adalah masih banyaknya permintaan untuk memuat data pribadi, mulai dari alamat, nomor telepon, tanggal lahir, hingga kerabat dekat. Ini membuat orang-orang dengan niat jahat bisa dengan mudah melakukan fraud.
“Jadi, kalau kita lihat literasi keuangan tadi masih ada gap, dan kita tidak melakukan apa-apa, yang menjadi tantangan kita ke depannya adalah banyak penipuan,” tegasnya.
Baca juga: Potensi Ekonomi Digital RI Menjanjikan, Tapi Literasi Masih Rendah
Misalnya, literasi yang rendah bisa membuat orang-orang bisa dengan mudah tertipu kala melakukan pembayaran melalui QRIS, yang rupanya dipalsukan untuk keperluan penipu. Banyak juga peristiwa fraud lain yang akhirnya menyebabkan kerugian terhadap pengguna alat pembayaran digital.
Untuk itu, Diana mengimbau agar para pelaku keuangan digital untuk selalu cermat dalam mengikuti perkembangan teknologi di sekitarnya. Karena, dengan semakin canggihnya teknologi, maka akan semakin besar juga kesempatan bagi penjahat digital untuk melakukan tindakan jahat.
“Semakin pintar kita, semakin pintar lagi mereka. Jadi, kita harus selalu pintar gitu ya, agar kita bisa menimbangi para fraudster ini,” pungkasnya. (*) Mohammad Adrianto Sukarso