Oleh Irvan Rahardjo : Komisaris Independen AJB Bumiputera 1912. (2012-2013)
Jakarta – Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyebutkan bahwa regulator telah melakukan stress test terhadap perbankan Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Gedung Bank Indonesia, Senin, 30 April 2018 lalu.
Wimboh mengatakan bahwa stress test bahkan dilakukan hingga rupiah mendekati level Rp20.000 per dollar AS. Hasilnya kata Wimboh, kondisi perbankan Indonesia masih cukup kuat.
Serta merta pernyataan memancing kegaduhan ditengah upaya pemerintah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Tidak kurang Menko Perekonomian Darmin Nasution mengomentari agar tidak ditanggapi berlebihan, setelah Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan bahwa semestinya hasil stress test tidak dipublikasikan.
Pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK terkesan terlalu jumawa sekaligus mengirim sinyal bagi para trader dan spekulan untuk menguji ketahanan perbankan dengan melakukan spekulasi valas yang dapat berdampak buruk bagi perekonomian nasional.
Tidak sekali ini saja OJK bersikap anti pasar dengan mengambil kebijakan yang menimbulkan kegaduhan dan menggerus kepercayaan publik .
Terkait dengan penetapan Pengelola Statuter ( PS ) bagi AJB Bumiputera 1912 (AJBB ) yang berujung upaya restrukturisasi yang nyata-nyata gagal menunjukkan OJK memberi isyarat kepada masyarakat bahwa asuransi tertua itu berada dalam kondisi darurat dan sulit beroperasi secara normal.
Penetapan PS ini dinyatakan BPK RI dalam IHPS II/2017 sebagai melanggar ketentuan tentang penunjukan Anggota Pengelola Statuter yakni tidak melalui uji kelayakan dan kepatutan. Ketua PS pilihan OJK pernah memimpin asuransi jiwa yang kini dinyatakan pailit dan anggota PS dengan beragam latar belakang diluar kompetensi asuransi.
Belum ada tindakan konkrit kepada AJBB selain menyuruh PS menghentikan semua rencana kerjasama dengan PT Evergreen investor dan meminta kembali AJBB beroperasi secara normal. Bagaimana mungkin bisa beroperasi secara normal, bila manajemen tidak dibentuk. Selama PS masih bercokol di sana, selama itu pula AJBB mengalami stigma tidak normal. OJK harus mengambil langkah afirmatif agar AJBB bisa beroperasi normal.
Sejauh ini, AJBB terperosok sangat dalam akibat tindakan OJK melalui tangan PS. Seluruh armada marketing AJBB dipindahkan ke PT Bumiputera yang kini berganti nama. Mereka ujung tombak AJBB di pasar, terdiri dari regional manager, branch manager dan tenaga inti di kantor pusat seperti IT dan keuangan ada 1.100 karyawan yang diberi pesangon dan kemudian dipindahkan ke PT dengan membawa sistem, portofolio, produk, brand image AJBB.
Selama 1 tahun run off, AJBB kehilangan potensi pendapatan Rp250 miliar per bulan, kini hanya sekitar Rp25 miliar per bulan. Feeding business yang dijanjikan OJK tak kunjung datang. AJBB saat ini sangat kesulitan likuiditas. Untuk mencairkan aset finansial, dikenakan pinalti sangat besar karena umumnya belum jatuh tempo.
Klaim yang tertunggak saat ini hampir menembus angka Rp1 triliun. Rekor baru bagi AJBB karena selama beberapa dekade terakhir AJBB tidak pernah terlambat membayar klaim. Disisi lain karyawan mengalami demotivasi luar biasa. Termasuk kemarahan pemegang polis karena pembayaran klaim terlambat. PS bentukan OJK tidak melakukan apa-apa untuk menanggulangi persoalan di lapangan.
Agen-agen yang semula heroik dan bersemangat kembali ke AJBB kini kecewa dan patah semangat. Mereka sulit jualan dengan bendera AJBB, karena setiap turun ke pasar, yang ditanyakan soal klaim nasabah yang terkatung katung dan status PS.
OJK berlaku diskriminatif terhadap manajemen dan AJBB sebagai pelaku usaha. Manajemen yang dinonaktifkan bukan bagian dari manajemen sebelumnya yang di mata OJK jilid 1 dianggap bermasalah. Namun tidak bisa berhenti karena ketentuan POJK melarang.
Di sisi lain, PS menerima remunerasi penuh jauh di atas remunerasi direksi. Padahal, mereka hanya bersifat ad hoc dan gagal menjalankan program restrukturisasi tanpa indikator keberhasilan jelas. Tidak sedikit perusahaan asuransi umum saat ini potensial berdampak sistemik tidak mendapatkan status PS seperti AJBB.
Saat ini kondisi keuangan AJB Bumiputera berada di titik nadir. Permasalahan terutama terkait dengan ketidakmampuan perusahaan membayar kewajiban kepada pemegang polis sesuai dengan tanggal jatuh tempo. Pembayaran klaim bahkan tertunda hingga 2-3 bulan.
Kondisi ini jika dibiarkan bisa memicu dampak sistemik. Tergerusnya kepercayaan publik, mengganggu reputasi perusahaan dan industri asuransi nasional.
Di luar itu, proses restrukturisasi yang gagal ini, bisa saja memicu tindakan class action dari pemegang polis. OJK bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi akibat penetapan PS.
Beberapa langkah koreksi adalah pertama, mengaktifkan kembali direksi yang non aktif. Memastikan bahwa pemimpin AJBB benar-benar memiliki integritas baik, kompeten dan memahami persoalan termasuk memahami karakteristik mutual.
Kedua, ketersediaan dana segar untuk menjamin pembayaran klaim tepat waktu. Harus ada opsi sumber pendanaan lain di luar upaya organik seperti pencairan aset dan percepatan pemasaran dengan intervensi OJK.
Ketiga, untuk membantu mengurangi laju pembayaran klaim, perlu ada skema moratorium pembayaran klaim pada nasabah korporasi, khususnya BUMN. OJK harus meyakinkan manajemen BUMN untuk tetap mempertahankan polis sekaligus memperpanjang atau melakukan penjadwalan ulang pembayaran klaim.
So, OJK berhenti membuat pasar gaduh dan stress. (*)