Oleh Muhammad Edhie Purnawan, PhD, Staf Pengajar FEBUGM dan Anggota Dewan Penasihat KADIN Indonesia
PASAR valuta asing global secara tradisional dipimpin oleh dolar Amerika Serikat (AS), yang dianggap sebagai mata uang cadangan dunia. Dominasi ini tidak hanya bersumber dari skala ekonomi AS yang besar, tetapi juga dari kepercayaan internasional terhadap stabilitas dan likuiditas pasar keuangan AS.
Meskipun mata uang utama lain seperti Euro (EUR), Yen Jepang (JPY), dan Pound Sterling Inggris (GBP) juga memegang peranan krusial dalam sistem keuangan global, namun peran mereka tidak sebanding dengan pengaruh luas yang dimiliki USD dalam transaksi perdagangan dan investasi internasional.
Pasar valuta asing, yang merupakan cerminan dari ekonomi global yang saling terkait dan sering berubah-ubah, telah berkembang menjadi medan yang sangat kompetitif dan penuh dinamika, terutama pasca runtuhnya sistem Bretton Woods. Setiap hari, triliunan dolar AS berpindah tangan untuk mendukung kegiatan perdagangan, investasi, dan spekulasi, mencerminkan pergerakan makroekonomi, variasi suku bunga, dan perubahan sentimen pasar.
Akhir-akhir ini, rupiah mengalami fluktuasi terhadap dolar AS yang tajam, bergerak pada rentang Rp16.350-Rp16.400, sejalan dengan JISDOR. Kita semua tahu, dan beberapa merasa khawatir.
Namun, yang perlu kita cermati, ternyata indeks dolar AS telah turun dari 106.12 ke 105.8 beberapa hari terakhir, menandai penurunan kepercayaan bisnis dan konsumen di AS. Juga defisit transaksi berjalan AS melebar menjadi USD -238 miliar, plus defisit neraca perdagangan menjadi USD -75.56 miliar, yang cenderung menekan ekonomi AS lalu berpotensi mempengaruhi nilai tukar global.
Sementara itu, di Indonesia, terjadi peningkatan kepercayaan bisnis dari 13.17 menjadi 14.11, menandakan optimisme yang meningkat di kalangan pengusaha. Namun, kepercayaan konsumen mengalami penurunan, meski hanya kecil, dari 128 ke 125, mengindikasikan sedikit kekhawatiran.
Defisit transaksi berjalan negara melebar dari -1.120 juta menjadi -2.161 juta, menunjukkan peningkatan kebutuhan terhadap dana asing, meski tetap ada sisi positif, yakni neraca perdagangan yang mengalami kenaikan dari 2.720 juta menjadi 2.927 juta. Hal ini mencerminkan peningkatan ekspor dibandingkan impor.
Rupiah, mata uang Republik Indonesia, telah melalui perjalanan yang dinamis di pasar valuta asing internasional. Transisi dari sistem nilai tukar tetap ke sistem nilai tukar mengambang terkendali merupakan upaya Indonesia untuk menciptakan keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas—dua elemen penting yang memungkinkan negara untuk merespons terhadap guncangan ekonomi, baik dari dalam maupun luar negeri.
Saat ini, pasar valuta asing Indonesia telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan global, namun tetap waspada terhadap potensi volatilitas yang mungkin akan terus terjadi.
Pelemahan rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir memiliki faktor pemicu. Termasuk di antaranya adalah pengetatan kebijakan moneter di AS yang meningkatkan permintaan dolar AS, ketidakpastian geopolitik, serta aliran model keluar di pasar negara berkembang. Selain itu, di samping menguatnya indeks dolar (tren 6 bulan terakhir), dan persepsi investor internasional yang telah mempengaruhi neraca perdagangan dan arus modal, menambah tekanan pada rupiah.
Selain itu, mekanisme penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini juga melibatkan sejumlah faktor lain, termasuk di dalamnya divergensi kebijakan moneter antara Bank Indonesia (BI) dan Federal Reserve AS (Fed). Peningkatan suku bunga oleh Fed sering kali menguatkan dolar AS, sejalan dengan pencarian investor atas yield yang lebih tinggi.
Di sisi lain, ketika BI memilih untuk mempertahankan suku bunga, ini dapat mengurangi daya tarik rupiah di mata investor internasional, sehingga berpotensi melemahkan mata uang domestik.
Dalam upaya mengatasi penurunan nilai tukar rupiah, BI telah mengimplementasikan kebijakan moneter yang komprehensif, yang mencakup intervensi di pasar valuta asing dan penyesuaian suku bunga. Sementara itu, kebijakan fiskal juga memainkan peran strategis; pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk memperkuat rupiah, dengan fokus pada investasi dan expenditures yang dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Para akademisi dari lembaga ternama seperti MIT, Harvard, dan UC Berkeley, termasuk di dalamnya Merton, Rogoff, Reinhart, dan Eichengreen, telah mengidentifikasi faktor-faktor utama yang memengaruhi nilai tukar mata uang asing. Riset mereka menunjukkan bahwa perbedaan suku bunga, ekspektasi inflasi, dan stabilitas politik adalah elemen penting yang menentukan dinamika nilai tukar. Khususnya, perbedaan suku bunga antarnegara memiliki dampak signifikan terhadap aliran modal dan investasi lintas batas.
Negara yang menawarkan suku bunga lebih tinggi sering kali menjadi tujuan favorit bagi investor asing, yang mencari imbal hasil yang lebih baik. Hal ini meningkatkan permintaan terhadap mata uang lokal dan cenderung memperkuat nilai tukarnya. Ekspektasi inflasi memainkan peran krusial dalam menentukan kekuatan mata uang domestik dibandingkan dengan mata uang asing. Stabilitas politik dan kebijakan ekonomi yang konsisten juga menambah daya tarik bagi investor, yang mendukung apresiasi mata uang. Sebaliknya, ketidakpastian politik dapat mengurangi kepercayaan investor dan berpotensi melemahkan mata uang domestik.
Ronald MacDonald, profesor ekonomi-politik pada Adam Smith di Universitas Glasgow, dalam karyanya “Exchange Rate Economics: Theories and Evidence” menguraikan berbagai teori yang menggambarkan dinamika nilai tukar mata uang asing. Buku ini menyediakan analisis mendalam tentang pasar valuta asing dan teori-teori ekonomi terkait. Salah satu prinsip utama yang dibahas adalah teori paritas daya beli, yang menyatakan bahwa nilai tukar mata uang akan bergerak ke titik di mana harga barang serupa di berbagai negara menjadi setara setelah dikonversi ke mata uang yang sama.
Namun, kenyataan interaksi antarvariabel di pasar sering kali lebih rumit dari yang dibayangkan oleh teori tradisional. Fluktuasi di pasar ini cenderung dipengaruhi oleh spekulasi, kebijakan intervensi bank sentral, dan perbedaan suku bunga yang semuanya memiliki dampak signifikan terhadap nilai tukar.
Sementara itu, membaca kembali teori, misalnya dari “Handbook of Exchange Rates” yang disunting oleh Jessica James, Ian Marsh, dan Lucio Sarno, telah mengubah cara kita memahami nilai tukar. Dengan 831 halaman yang diterbitkan oleh John Wiley & Sons, Inc., buku ini mengeksplorasi pengaruh perilaku manusia terhadap pasar valuta asing (FX), menantang teori-teori tradisional. Analisis behavioral finance yang disajikan memberikan wawasan baru tentang dinamika pasar FX, memperkenalkan metode peramalan nilai tukar yang inovatif, strategi manajemen mata uang yang efektif, dan pemahaman mendalam tentang kebijakan FX. Terbagi dalam empat bagian yang komprehensif, buku ini didukung oleh kontribusi dari para ahli keuangan global, menjadikannya sumber daya yang tak ternilai bagi siapa saja yang tertarik dengan ekonomi valuta asing.
Untuk meningkatkan efektivitas KSSK, sangat penting untuk membangun kepercayaan melalui peningkatan transparansi dan koordinasi kebijakan. Selain itu, KSSK harus berinovasi dalam menciptakan produk dan instrumen keuangan baru yang menarik bagi investor jangka panjang. Juga, memperkuat mekanisme perlindungan deposito adalah langkah krusial untuk meningkatkan kepercayaan investor. Terkait dengan hal itu, stabilisasi di pasar valuta asing tidak diukur dari absennya fluktuasi—yang merupakan bagian tak terelakkan dari pasar—melainkan dari kemampuan bank sentral untuk mengelola turbulensi dengan bijaksana dan tenang. Fondasi dari sistem keuangan yang stabil adalah pemahaman yang komprehensif tentang mekanisme pasar dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dengan cara yang cerdas dan terukur.
Suatu ketika, di rumahnya, BJ Habibie pernah mengundang dan bercerita kepada saya. Kita sudah pernah dihadapkan pada persoalan krisis nilai tukar rupiah yang hebat. Sejarah mencatat, pada masa krisis ekonomi 1998, Presiden BJ Habibie dan Jusman Syafii Djamal, yang kemudian menjabat sebagai Menteri Perhubungan, mengambil langkah strategis untuk meredam kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. BJ Habibie, dengan latar belakang sebagai insinyur aeronautika dari RWTH Aachen University, di mana ia meraih gelar insinyur dari Jerman, menerapkan “pendekatan ajaib” dinamis dalam mengatasi krisis. Ia memandang krisis ekonomi layaknya pesawat yang mengalami stall, kehilangan daya angkat dan hampir jatuh. Dengan memahami bahwa keseimbangan adalah kunci, Habibie mengimplementasikan “model zig-zag”, yang melibatkan pemotongan, penggandaan, dan pemangkasan kembali suku bunga, untuk menciptakan stabilitas ekonomi.
Lalu, Pak Djusman Syafii Djamal (JSD) beberapa hari setelahnya, mengundang saya makan malam (atas rekomendasi Pak Habibie, saya diminta menghubungi Pak JSD untuk berdiskusi lebih lanjut soal “model ajaib zig-zag” ini). Meskipun pendekatan ini awalnya disambut dengan skeptisisme dan dingin oleh banyak ekonom dan dianggap nonkonvensional, hasilnya ternyata manjur. “Model ajaib zig-zag Habibie” ini berhasil menstabilkan rupiah dari titik terendahnya di Rp17.000 per dolar AS hingga mencapai Rp 6.500 per dolar AS. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan interdisipliner, inovatif, dan imajinatif dalam kebijakan ekonomi, meskipun tampak nonortodoks, bisa memberikan hasil yang efektif dalam situasi krisis. JSD dengan pengalamannya di bidang transportasi, mendukung kebijakan ini (melalui diskusi dengan facsimile dengan BJH selama 3 bulan), yang pada akhirnya membuktikan bahwa keberanian untuk menerapkan metode baru dan berani dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia di pinggir kehancuran.
Saat ini, untuk memperkuat nilai tukar rupiah, BI telah mengambil langkah-langkah strategis stabilisasi. Intervensi pasar, penyesuaian suku bunga, memperkuat pasar lindung nilai DNDF (Domestic Non Deliverable Forward), merupakan bagian dari strategi. Kenaikan suku bunga SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) dan suku bunga acuan BI rate menunjukkan komitmen BI dalam menjaga stabilitas ekonomi. Selain itu, Indonesia berinisiatif mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dengan mendorong penggunaan mata uang lokal (LCT, Local Currency Transaction) dalam transaksi bilateral dengan negara-negara mitra dagang, baik di ASEAN maupun di luar kawasan.
Pemerintah Indonesia mengakui pentingnya menjaga sentimen pasar yang positif untuk mewujudkan stabilitas nilai tukar rupiah. Komentar pejabat yang dapat memicu persepsi negatif harus dihindari, sebagaimana regulasi yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko investasi. Karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif bagi kegiatan ekspor dan mengatur impor secara efektif untuk mengurangi pemborosan devisa. Pengembangan industri bahan baku domestik juga menjadi prioritas untuk mengurangi ketergantungan impor.
Pemerintah dan BI harus bersinergi dalam memberikan stimulus fiskal dan likuiditas perbankan untuk mendukung sektor-sektor prioritas. Program pembangunan rumah dan hilirisasi pertanian merupakan contoh konkret dari upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, stabilitas nilai tukar rupiah dapat dicapai sambil memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Adalah tepat, Dewan Penasihat (Wanhat) KADIN Indonesia telah mengundang Gubernur BI untuk pertemuan pada tanggal 25 Juni 2024 di Menara Kadin, lantai 29. Agenda utama adalah membahas sinergi dalam memajukan ekonomi Indonesia, dengan penekanan pada stabilitas keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Diskusi meliputi analisis terhadap pengaruh fluktuasi rupiah terhadap APBN, strategi mencapai visi ekonomi emas pada tahun 2045, serta langkah-langkah adaptif untuk menjaga kestabilan ekonomi di tengah ketidakpastian global.