Yogyakarta – Indonesia saat ini, salah satunya dalam konteks sektor keuangan seperti sedang memasuki era destruksi kreatif. Hal itu antara lain ditandai dengan berkembangnya perusahaan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech), yang keberadaannya mengganggu eksistensi dari lembaga keuangan tradisional.
Hal itu disampaikan oleh Prof. Edward Buckingham, Director of Management Monash Business School dalam Seminar Pengawasan Market Conduct dan Implementasinya di Era Digital, yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Yogyakarta, pada 3-4 Oktober 2019.
Destruksi kreatif yang juga dikenal dengan istilah badai Schumpeter merupakan sebuah istilah bidang ekonomi yang kembali dipopulerkan pada periode 1950-an oleh ekonom Austria-Amerika, Joseph Schumpeter, yang menyusun teori inovasi ekonomi dan siklus bisnis. Destruksi kreatif menjelaskan proses mutasi industrial yang terus menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, menghancurkan yang lama dan tak henti-hentinya menciptakan yang baru.
“Lembaga pengatur dan pengawas keuangan di dunia, dibentuk untuk mengatur kegiatan keuangan dengan sistem lama. Belum tentu tepat untuk transaksi yang akan datang,” kata Edward Buckingham.
Mempertimbangkan hal itu, tambahnya, pemerintah atau regulator harus memahami revolusi sosial keuangan yang sedang terjadi saat ini. Dan di balik itu semua, isu yang lebih besar adalah mengenai data dan informasi. “Isu yang sesungguhnya adalah informasi data dan bagaimana mengontrolnya,” tegas Edward Buckingham.
Sementara, Kepala Departemen Grup Inovasi Keuangan Digital OJK, Triyono, menjelaskan, kekhawatiran dari keberadaan fintech, terutama yang bergerak di P2P lending, adalah mis-selling. Maksudnya, produk fintech dijual kepada orang yang salah, dalam arti orang yang tidak memahami risikonya.
Dalam sistem perbankan misalnya. Bank menjalankan fungsi intermediasi, dalam hal ini bank menjadi penjaga risiko bagi para nasabahnya. Sementara pada fintech, fintech tidak berperan sebagai lembaga intermediasi. Artinya, risiko sepenuhnya berada pada sisi konsumen. “Ini yang bahaya, kalau orang itu belum memahami risikonya. Itu harus kita perhatikan,” kata Triyono.
OJK sendiri menyadari bahwa fintech juga punya peran dalam menggerakan perekonomian nasional. Karena itu, kata Triyono, industri fintech di Indonesia yang terbilang masih berusia muda, diberi ruang untuk tumbuh dan berinovasi.
“Kami menyadari industri fintech ini masih kecil, kalau sekarang ini dia kita tuntut harus besar, punya modal besar, kasihan. Yang penting sekarang, dia sehat dan tidak nakal. Karena masih kecil ini, market conduct approach yang kita kedepankan,” jelas Triyono. (Ari Nugroho)