Jakarta – Risiko makroekonomi Indonesia tergolong ke dalam medium risk yang dimana risiko resesi dinilai tidak begitu besar. Namun, hal tersebut harus tetap diwaspadai dengan pengelolaan kebijakan yang benar.
“Kita medium risk tapi kita bukan low risk, jadi risiko resesi tidak cukup besar. Namun, kalau salah mengelola persiapan untuk menghadapi yang terburuk itu belum siap,” ucap Ekonom, Faisal Basri dalam Diskusi Publik di Jakarta, 21 Oktober 2022.
Di samping itu, Indonesia juga memiliki kekuatan dan kelemahan dalam menghadapi risiko global. Terkait dengan kekuatan, Indonesia masih didukung oleh peminat investor asing di pasar saham yang masih tinggi, dimana net buy masih tercatat tertinggi sepanjang sejarah.
“Jadi asing itu kerjaannya sekarang beli saham di Indonesia sampai kemaren net buy Rp74 triliun. Peranan investor asing dan SBN turun drastis, jadi kalau ada apa-apa asing jual semua ngga separah kondisi 2008,” imbuhnya.
Jika dibandingkan dengan keadaan tahun 2008, Indonesia masih memiliki kekuatan yang cukup, meskipun pada saat ini asing di pasar saham mengalami penurunan menjadi 32% dari 50% angka tersebut masih cukup tinggi.
Selain itu, Surat Berharga Negara (SBN) di tahun yang sama pernah menyentuh angka 36% dimiliki oleh asing dan sekarang hanya 16%. Kedua hal tersebut yang membuat rupiah di Indonesia tidak terjun bebas.
“Ketergantungan pada luar negeri ini relative rendah, di kavling ekspor impor terhadap PDB itu tergolong paling kecil di ASEAN. Selama ini Indonesia itu hanya bergantung kira-kira 15% total investasinya dari investasi asing,” ujar Faisal.
Di sisi kelemahan, Indonesia masih ketergantungan pada ekspor komoditas lebih dari 50% ekspor didominasi komoditas, lalu tekanan inflasi yang akan terjadi pada tahun depan, dan tekanan yang terjadi pada investor asing di SBN.
“SBN sudah Rp170 triliun ke luar, tapi ada positif Rp70 triliun di pasar saham, jadi kira-kira minusnya Rp100 triliun, lumayan gede dan makanya rupiah terus melemah,” tambahnya. (*) Khoirifa