London – Ekonomi zona eropa melambat dengan cepat yang dipicu oleh tingginya inflasi. Chris Williamson , kepala ekonom bisnis di S&P Global Market Intelligence mengatakan, pertumbuhan ekonomi zona eropa menunjukkan tanda-tanda goyah karena menurunnya permintaan ditambah melonjaknya biaya hidup dan merosotnya kepercayaan bisnis dan konsumen.
Menurut Chris, perlambatan yang terjadi pada bulan Juni adalah yang paling menonjol. Hal ini merujuk pada survei S&P sejak puncak krisis keuangan global pada November 2008.
Data terbaru menandai adanya tingkat pertumbuhan PDB yang hanya 0,2% pada akhir kuartal kedua, atau menurun tajam dari 0,6% pada akhir kuartal pertama. Jika menilik tren ini, kemungkinan lebih buruk bisa terjadi pada paruh kedua tahun ini. Arus masuk bisnis baru terhenti, yang dipengaruhi oleh penurunan permintaan barang dan berkurangnya permintaan layanan dari konsumen karena menurunnya daya beli.
Indeks PMI flash S&P Global menunjukkan pertumbuhan bisnis zora eropa telah merosot ke 51,9 pada Juni dari 54,8 pada Mei, lebih lemah dari yang diharapkan, dan level terendah sejak Februari 2021.
Output manufaktur mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam dua tahun dan pertumbuhan sektor jasa tak mengalami pergerakan. Hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa kenaikan harga dapat mendorong zona eropa ke dalam resesi, setelah inflasi mencapai rekor tertinggi 8,1% pada Mei.
Dengan pertumbuhan yang melambat, perusahaan-perusahaan berusaha mengurangi ekspektasi mereka untuk produksi. Beberapa hal yang memicu stagnasi permintaan dan berujung pada memburuknya prospek ekonomi diantaranya adalah meningkatnya biaya hidup, kondisi keuangan yang lebih ketat dan kekhawatiran atas energi dan rantai pasokan yang terkait dengan perang Ukraina serta gangguan pandemi yang masih berlangsung. Tingginnya tekanan ini berpotensi memicu lonjakan harga yang berpotensi memicu inflasi yang lebih tinggi.
Federal Reserve Berpotensi Naikkan Suku Bunga ke 3%
Senada, AS juga tengah sibuk memadamkan inflasi. Federal Reserve dikabarkan akan terus menaikkan suku bunga sampai terlihat adanya indikasi penurunan inflasi.
Jerome Powell, Ketua Fed mengatakan, AS sedang berperang dengan tingkat inflasi yang belum pernah dialami dalam setidaknya 40 tahun terakhir. Dan Ia memperingatkan bahwa lonjakan tidak terduga bisa saja terjadi.
“Selama beberapa bulan mendatang, kami akan mencari bukti kuat bahwa inflasi bergerak turun, dan kami memiliki alat yang kami butuhkan dan tekad yang diperlukan untuk memulihkan stabilitas harga” ujar Powell seperti dikutip dari The Guardian.
Pekan lalu The Fed menaikkan suku bunga sebesar 0,75 basis poin (kenaikan terbesar sejak 1994). Powell dan pejabat Fed lainnya telah mengisyaratkan bahwa kenaikan lebih lanjut sedang dalam pengerjaan karena mereka mencoba untuk mendorong inflasi turun ke target 2% dari tahunan saat ini. Suku bunga acuan federal-funds The Fed saat ini berada dalam kisaran antara 1,5% dan 1,75% dan diperkirakan akan naik di atas 3% tahun ini.
Powell mengatakan kenaikan suku bunga diperlukan untuk menurunkan permintaan dan meredam kenaikan harga. Namun dia mengakui bahwa banyak pendorong inflasi, termasuk perang di Ukraina yang berdampak pada harga energi dan melonjaknya biaya makanan. Dan itu, tambahnya, berada di luar kendali The Fed.
Namun demikian, Senator Elizabeth Warren mengkritik pergerakan suku bunga The Fed. Harga gas dan pangan, menurutnya, tidak akan turun karena kenaikan tarif. “Kenaikan tarif tidak akan membuat Vladimir Putin membalikkan keadaan dan meninggalkan Ukraina,” ujar Warren.
Menurut Warren, menaikkan tarif hanya akan membuat investasi menjadi lebih mahal dan ini akan membuat orang kehilangan pekerjaan. Saat mereka kehilangan pekerjaan, maka otomatis daya beli ikut menurun.
Senada, mantan menteri keuangan AS, Larry Summer berpendapat pengangguran AS saat ini naik dari 3,6% menjadi 5% selama lima tahun untuk menahan inflasi.
Kebijakan BOE Tekan Inflasi
Tren kenaikan suku bunga juga dilakukan oleh Inggris. Ekonom Huw Pill mengatakan, Bank Of England (BOE) perlu menaikkan suku bunga lebih lanjut dalam waktu dekat untuk mengatasi lonjakan inflasi.
Pekan lalu, Komite Kebijakan Moneter BOE menaikkan suku bunga untuk kelima kalinya berturut-turut, dari 1% menjadi 1,25%. Pill adalah salah satu dari enam pembuat kebijakan yang mendukung ini, sementara tiga memilih kenaikan yang lebih besar menjadi 1,5%.
Beberapa ekonom memperkirakan bank dapat bertindak lebih agresif pada bulan Agustus, dengan kenaikan 50 basis poin yang akan membawa Suku Bunga Bank menjadi 1,75%.
Ekonom Catherine Mann setuju dengan adanya kenaikan suku bunga yang lebih cepat, untuk mencegah pound yang lemah. Ia mengatakan bank sentral lain seperti Fed dan ECB berharap untuk menaikkan biaya pinjaman mereka, yang akan memukul sterling jika BoE tidak melakukannya. Mann menyarankan, suku bunga kemudian dapat dipotong untuk mendukung pertumbuhan, setelah guncangan inflasi telah mereda.
Tidak hanya Inggris yang terpukul Inflasi di Eropa, Jerman dan Prancis juga demikian. Pertumbuhan sektor swasta di kedua negara ini telah melambat tajam bulan ini, dan memicu kekhawatiran bahwa ekonomi Eropa sedang goyah.
Baca Juga : Ini Kata Analis Tentang Prospek Suram Ekonomi Inggris
Di Prancis , pertumbuhan telah merosot ke titik terlemahnya sejak puncak gangguan Omicron pada awal 2022. Sementara di Jerman , pertumbuhan melambat untuk bulan keempat berturut-turut ke level terendah dalam enam bulan. Hal ini menandakan hilangnya momentum yang berkelanjutan dalam ekonomi sektor swasta.
Tidak seperti rekannya di Eropa, Bank sentral Turki justru melawan tren kenaikan suku bunga, dengan membiarkan biaya pinjaman tidak berubah ditengah lonjakan harga. Bank Sentral Republik Turki (CBRT) mempertahankan suku bunga kebijakannya di level 14%, meskipun inflasi harga konsumen melonjak menjadi 73,5% di bulan Mei.
Seorang juru bicara Bank sentral Turki mengatakan Komite akan terus menerapkan kebijakan makroprudensial yang diperkuat yang ditetapkan secara tegas dan mengambil langkah-langkah tambahan bila diperlukan.
Inflasi Turki telah melonjak lebih tinggi setelah CBRT memangkas suku bunga beberapa kali tahun lalu, di bawah tekanan dari presiden Recep Tayyip Erdoğan. Hal ini berimbas pada pelemahan Lira. Tidak hanya itu, kebijakan ini juga sudah menaikkan biaya impor bahkan sebelum invasi Rusia ke Ukraina mendorong harga energi dan pangan lebih tinggi.(*)
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More