Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
ROJALI dan Rohana. Itulah yang sedang viral dalam dua pekan ini di group-group WhatsApp. Ya, Rojali artinya rombongan jarang beli, dan Rohana adalah rombongan hanya tanya-tanya. Intinya, apakah Rojali dan Rohana, itu rombongan tidak beli. Padahal, selama ini, Pemerintah bangga menepuk dada: pertumbuhan ekonomi 4,87 persen, kemiskinan turun, gini ratio membaik, dan orang yang bekerja bertambah.
Tapi di jalanan, yang terjadi justru fenomena Rojali, Rohana, dan Rohali (Rombongan Hanya Lihat-lihat) serta “roh-roh” lainnya seperti Rohalus (Rombongan Hanya Elus-elus). Itu nyata dan bukan tuduhan Rokalpres (Rombongan Kalah Pilpres). Pertumbuhan tinggi kok kita makin merasa miskin, itu kata Rojali dalam hati. Jumlah orang miskin berkurang, kata data BPS. Tapi banyaknya Rojali dan Rohana menunjukkan bahwa data Word Bank-lah yang jumlah orang miskinnya 4,5 kali data BPS.
Lihat saja pameran mobil dengan pengunjung melimpah, seperti kata para salesnya, banyak yang lihat-lihat saja. Dan, gejala sosial di mana mal dan pameran berubah jadi taman hiburan gratis. Mobil mewah dipajang, dicolek-colek, lalu pulang naik ojek online atau angkot.

Pertanyaannya: apakah ini efek “kreativitas” rakyat menghadapi daya beli yang tergerus, atau sekadar bukti bahwa angka-angka BPS itu hidup di alam khayal?
Lihat saja data-data, meski Bank Indonesia (BI) memotong suku bunga, tapi kredit perbankan tetap seret dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh rendah karena bank harus bersaing dengan yield Surat Berharga Nasional (SBN) dan efek ketat Sertifikat Ritel Bank Indonesia (SRBI).
Baca juga: Airlangga-BPS Soroti Fenomena Rojali, Ini Dampaknya ke Ekonomi
Untuk apa rajin ngasih kredit jika dikemudian hari macet bisa saja dikriminalisasi. Jadi jangan salahkan jika para bankir menikmati saja keinginan pemerintah beli SBN karena tanpa risiko dengan yield masih nikmat. Sementara itu, ancaman non performing loan (NPL) mengintai, dan dunia usaha ramai-ramai PHK
Sejalan dengan itu – masyarakat bawah (saldo tabungan di bawah Rp100 juta) makin cekak. Artinya, masyarakat bawah mengambil tabungan untuk makan, istilahnya Mantab (Makan Tabungan). Katanya surplus beras, tapi harga beras kok lebih mahal.
Di sisi lain, pemerintah sibuk “efisiensi anggaran”—istilah halus untuk pemotongan belanja —karena tekanan fiskal. Tapi, di saat yang sama, program-program seperti, makan bergizi gratis (MBG), program tiga juta rumah, atau hilirisasi masih “omon-omon” (banyak wacana, minim realisasi).
Pertanyaannya: kalau pertumbuhan benar-benar berkualitas, mengapa kredit hanya tumbuh rendah (8,43 persen)? Mengapa masyarakat lebih memilih “berjaga-jaga” ketimbang belanja? Tidak hanya itu. Data Badan Statistik (BPS) menyebutkan, kemiskinan turun, tapi kok banyak sarjana yang jadi tukang ojek online. Lihatlah realitas: sarjana menganggur atau kerja serabutan yang semula hanya bertahan, namun tidak bisa berbuat apa apa untuk pindah pekerjaan.
Mereka yang seharusnya jadi insinyur, kini jadi driver ojek online. Mereka yang mestinya jadi peneliti, malah jualan kopi di e-commerce. Ini bisa jadi bukan mobilitas sosial, tapi “penurunan kualitas tenaga kerja”.
Bisa jadi gini ratio “mungkin” membaik, tapi kesenjangan struktural tetap menganga: upah buruh stagnan, sementara harga sembako meroket. Jadi, Rojali-Rohana merupakan simbol ketidakpastian. Jujur, fenomena Rojali dan Rohana bukan sekadar perubahan pola belanja, tapi gejala deflasi permintaan — orang punya uang, tapi takut membelanjakan karena ketidakpastian.
Menurut Infobank Institute, ada tiga hal yang mendasar. Satu, daya beli tergerus inflasi karena harga naik, sementara upah tak mampu mengejar harga. Dua, efek psikologis ekonomi global dan skor 19-0 dari Trump Tariff. Tiga, kepercayaan yang rendah terhadap program pemerintah. Jika toh dijalankan, tapi tidak memberi trickle down effect ke bawah. Uang hanya berputar-putar di kalangan elite politik.
Apakah fenomena Rojali dan Rohana ini akan berlanjut?
Menurut diskusi internal di Infobank Institute, fenomena Rojali dan Rohana ini akan berlanjut selama ketidakpastian ekonomi dan politik belum teratasi. Jika pemerintah hanya sibuk “jual angka” tanpa memperbaiki fundamental ekonomi, Rojali-Rohana akan jadi budaya baru—”ekonomi ngemis diskon”.
Apa yang harus dilakukan masyarakat? Nah, bagi yang berpenghasilan tetap (PNS, karyawan): Satu, jangan terjebak utang konsumtif – meski BI turunkan bunga, tapi itu jebakan selama Anda tidak naik pendapatannya. Dua, lakukan diversifikasi pendapatan – cari side income, investasi yang aman.
Tiga, tekan gaya hidup – belilah yang dibutuhkan dan jangan yang diinginkan. Empat, tambah dana darurat dengan mengurangi konnsumsi yang tidak perlu. Lima, kritisi kebijakan pemerintah – jangan mau dibuai angka-angka fantasi, dan dibuai dengan kata-kata “demi rakyat, kita akan, kita akan…”. Padahal, faktanya Rojali dan Rohana makin banyak berseliweran di mal-mal dan tempat pameran.
Baca juga: BPS: Fenomena “Rojali” Indikasikan Tekanan Ekonomi di Masyarakat
Pertumbuhan sebesar 4,87 persen itu tidak buruk. Namun, pertumbuhan tidak berkualitas dan bak pesta para elit di lantai atas, sementara di dasar gedung, rakyat hanya bisa jadi Rojali-Rohana—nonton dari jauh, tak mampu membeli tiket masuk. Inilah wajah pertumbuhan semu: angka-angka indah di atas kertas, tapi kosong di lapangan. Seperti kata Sjahrir, Yayasan Padi & Kapas “Pembangunan tanpa keadilan hanyalah ilusi yang mahal.”
Jadi, jangan bangga dulu, Bos! Bisa jadi pertumbuhan 4,87 persen itu hanya catatan semu, bukan untuk rakyat kecil. Tapi, untuk lingkar elite yang makin gemar joget dan nyanyi di depan masyarakat – seolah tak merasakan beban berat hidup masyarakat. Jangan sampai ada “Drama Korea” angka pertumbuhan ekonomi.
Jujur sekarang ada Rohana-Rojalinomic. Dan, Rohana dan Rojali adalah suara tanpa kata, protes atas ekonomi yang tak berpihak. Jika pemerintah tetap “menepuk dada” dari laporan ABS para pembantunya -termasuk sejumlah menteri kualitas KW3, dengan mengklaim keberhasilan sambil menutup mata pada realitas, bersiaplah – resesi bisa jadi tamu tak diundang.
Lalu, siapa yang mau belanja? Tanya Rojali sambil gigit jari.










