Jakarta – Berbagai strategi yang disiapkan pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi covid-19 adalah hal yang baik. Stimulus ekonomi diharap bisa mendongkrak pasar dan pelaku untuk kembali berkegiatan. Di sisi lain, kebijakan bantuan sosial dan gaji ke-13 adalah hal yang pas untuk membangkitkan daya beli masyarakat. Beragam program ini membutuhkan langkah cepat.
Namun sayangnya, di penerapannya, kerap kali terkadang proses birokrasi yang berbelit, tak praktis, dan kurang mampu sigap di tengah kondisi pandemi ini. Akibatnya, banyak pihak yang merasa tak puas, termasuk kalangan bawah. Demikian diungkapkan Mantan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita saat menyampaikan pandangannya di diskusi daring di Jakarta, Kamis, 13 Agustus 2020.
“Langkah yang diambil oleh Presiden bahwa perlu ada keseimbangan gas dan rem sangat tepat. Karena tidak mungkin hanya dilakukan pengetatan semata. Demikian juga upaya yang dilakukan pemerintah sudah sangat baik. Tetapi yang menjadi soal adalah dalam tahapan pelaksanaannya yang tampak masih belum sesuai. Demikian juga dengan proses birokrasi yang “membelenggu” sehingga proses ini dan itu masih begitu panjang,” kata Enggartiasto.
Ia menyebutkan, berbagai stimulus dan bantuan itu perlu pengawasan ketat. Sebagai contoh, anggaran sebesar Rp30 triliun yang disalurkan Himbara, untuk memberikan kredit kepada pelaku ekonomi, selayaknya dipantau bersama oleh OJK, BI, Kemenkeu dan Kementerian BUMN. Dia juga menyerukan, agar investasi kembali masuk dengan lancar, perlu diberikan “sweetener”. Pembebasan pajak selama 5 tahun bisa diberikan, agar investor ramai menyemarakkan perekonomian Tanah Air.
Sedangkan terkait persoalan ekspor-impor, dia menyarankan perlu penerapan semacam barter dengan negara lain untuk produk tertentu. Tujuannya, agar kedua negara, atau kelompok negara bisa sama-sama bangkit dari pandemi.
Kepada masyarakat kelas menengah hingga ke atas, diminta pula untuk dapat lebih menggenjot konsumsi dalam rangka berkontribusi membantu pemerintah menahan ekonomi dari resesi. Masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini cenderung takut untuk keluar dari rumah dan sengaja membatasi belanja untuk menjaga cadangan keuangannya.
“Mereka juga menjaga cadangan keuangannya. Ini tercermin dari peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh positif di perbankan,” ujarnya.
Sementara itu, Ekonom dan Founder Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Hendri Saparini menyatakan kontribusi konsumsi yang sebesar 58 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ternyata disokong oleh desil tertinggi. Ia menyebutkan porsi pengeluaran 40% penduduk terbawah hanya sekitar 17%, sedangkan 20% penduduk tertinggi adalah lebih dari 45%.
“Kalau mereka tidak didorong dengan kebijakan maka itu menjadi berat. Kita berharap ada kebijakan untuk mendorong agar semua level rumah tangga dari desil satu sampai 10 melakukan spending,” katanya.
Hendri berharap pemerintah dapat membuat kebijakan dan program-program yang mampu mendorong konsumsi seluruh lapisan masyarakat Indonesia agar pertumbuhan ekonomi tidak terkontraksi. (*)