Di tengah perekonomian yang melambat dan berbagai risiko yang dihadapi perbankan, masih ada ceruk-ceruk bisnis yang dinilai potensial. Ria Martati
Jakarta–Kinerja perbankan melemah seiring pelemahan ekonomi ditunjukkan dalam beberapa indikator. Pertumbuhan kredit, per Juni 2015 hanya 10,38% secara year on year, sementara pada bulan April dan Mei secara berturut-turut, kredit perbankan tumbuh 10,42% dan 10,4%.
Sementara pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) per Juni 2015 tercatat tumbuh 12,65% sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan Mei yang sebesar 12,45%, namun lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan April yang sebesar 14,15%. Sementara itu aset perbankan tumbuh 14,14%.
Pertumbuhan kredit tersebut telah mengalami tren pelambatan yang cukup dalam seiring pelambatan ekonomi nasional dan kebijakan moneter ketat yang telah diterapkan sejak pertengahan tahun 2013. Pada bulan September 2014, kredit masih tumbuh sangat tinggi sebesar 23,1% (YoY) dan saat ini telah terpangkas hingga di kisaran 10%.
Berdasarkan jenisnya, kredit investasi tumbuh melambat menjadi 10,1% (YoY) dari 11,1% pada bulan sebelumnya, sedangkan pertumbuhan kredit modal kerja dan konsumsi sedikit meningkat, masing-masing menjadi 10,8% (YoY) dan 9,9% dari 10,4% dan 9,7%.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon optimis pertumbuhan kredit masih bisa mencapai 13% tahun ini. Kendati demikian, pertumbuhan tersebut bisa dicapai jika, penyerapan belanja Pemerintah bisa stabil.
“Tumbuh di atas 10 % saya masih yakin. Kan yang kalian tanya apa yang di RBB itu 13-15% masih bisa masuk atau tidak. Saya bilang kalau Pemerintah stabil peningkatan spending ya, pengeluaran atau belanja modal atau rutin bisa di 3,5 bulan lagi, masih bisa lah,” kata dia di Jakarta Rabu 16 September 2015.
Sementara di sisi profitabilitas, tekanan terhadap pundi-pundi laba bank juga diperkirakan masih akan berlanjut, Perbankan diperkirakan masih akan mengalami perlambatan pertumbuhan profit. Pasalnya, bank masih harus berjaga-jaga terhadap risiko kredit bermasalah yang maish dalam tren meningkat.
“Laba bank nggak negatif, tetapi pertumbuhan dari profit yang negatif. Profit tetap tinggi, aset juga relatif nggak tumbuh, kredit kan juga tumbuh sekitar 10%. Itu secara ROA dan ROE relatif stabil, atau saya pikir agak terkoreksi, tapi masih manageable,” kata Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto di Jakarta Rabu 16 September 2015.
Doddy mengatakan profit bank dalam 12 bulan terakhir minus 8%, mayoritas karena cadangan provisi. Tingkat pertumbuhan provisi mencapai 14% secara year on year, relatif tinggi daripada periode normal. Sementara pada 2013 dan tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan provisi cuma sekitar 4%.
“Itu yang membuat pertumbuhan laba bank turun. Kalau 2013 ke bawah, 2012 masa keemasan bisa tumbuh 20% (yoy), jadi turun ke 10% terus sampai sekarang (masih turun),” kata dia.
Pada data Statistik Perbankan yang dirilis OJK, bank-bank umum sepanjang semester pertama tahun ini mencatat laba sebesar Rp50,84 triliun, turun 12,98%(yoy) dibandingkan laba semester pertama tahun lalu sebesar Rp58,43 triliun. Penurunan laba bersih tersebut terjadi pada seluruh kelompok bank, termasuk bank-bank BUMN.
Tak jauh berbeda, kondisi kualitas kredit pun menunjukkan pemburukan. Pada Juni 2015, kredit bermasalah perbankan meningkat cukup signifikan dari Rp79,39 triliun pada akhir tahun lalu menjadi Rp97,96 triliun.
Adapun kenaikan kredit bermasalah tersebut membuat rasio NPL meningkat dari 2,16% pada Desember 2014 lalu menjadi 2,55% pada Juni 2015 ini.
Chief of Economist PT Bank Mandiri, Tbk (Bank Mandiri) Destry Damayanti mengatakan, kondisi perbankan tahun 2015 ini memang tak mudah, kendati demikian masih ada peluang bisnis yang bisa digarap. Perbankan harus mencari sektor industri dengan konten impor rendah dan berfokus ke ekspor atau industri dengan konten impor rendah dan berorientasi domestik.
“Ke depan fokusnya currency, cari industri yang konten impor rendah, cari produk dari karet, footwear misalnya, kita analisa mana yang low import content, tapi high export, sampai impor content rendah berorientasi domestik. Misalnya processing food, beverage, rotan, rubber dan sebagainya,” kata Destry di Jakarta, Rabu, 16 September 2015.
Sementara Plt Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan Fauzi Ichsan mengatakan, perbankan dapat mulai fokus ke program pembangunan infrastruktur pemerintah.
“Pertama mungkin perbankan mulai fokus ke program pembangunan infrastruktur pemerintah, dananya ada, Pemda saja punya Rp270 triliun yang masih menganggur,” kata Fauzi dalam kesempatan yang sama.
Fokus lainnya adalah menyediakan layanan bagi investor, pasalnya dengan harga aset yang tengah anjlok saat ini, merupakan saat yang tepat bagi investor untuk membeli aset di pasar modal.
“Harga aset yang turun apakah saham atau fix asset memberi kesempatan pada investor karena bisa beli aset dengan murah, dengan kesempatan itu investor bisa menggunakan jasa bank, investment banking,” kata dia.
Selain menggarap fokus bisnis tersebut, menurutnya bank juga harus mempercepat pencadangan untuk kredit bermasalahnya, menahan ekspansi kredit, memperkuat manajemen kredit bermasalah melalui penagihan atau restrukturisasi, dan mengelola likuiditasnya dengan baik. (*)