Ekonomi Hijau Butuh Aksi, Bukan Jargon!

Ekonomi Hijau Butuh Aksi, Bukan Jargon!

Oleh Wahyudin Rahman, Dosen/Praktisi Manajemen Risiko, dan Ketua Umum Kupasi 2022-2025

JULI lalu menjadi bulan dengan suhu paling panas secara global. Menurut Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres (27/7/2023), tercatat rata-rata suhu bumi mencapai 1,5 derajat Celsius.

Penyebabnya dari gelombang panas di Kawasan Amerika Utara, Asia dan Eropa serta bersamaan dengan El Nino. Baru-baru ini kita juga lihat kebakaran hebat di Hawai.  Sedangkan di Indonesia, terjadi suhu ekstrim  di Dieng dan mencairnya gletser di Puncak Jaya, Papua. 

Bumi bukan lagi panas tapi mendidih. Risiko perubahan iklim menghakimi masa depan manusia. Risiko ini menjadi ancaman terbesar dalam 10 tahun ke depan (World Economic Forum Global Risk Report, 2022). Risiko ini terbagi atas risiko fisik dan risiko transisi.

Risiko fisik ditandai adanya bencana. Sedangkan risiko transisi muncul dalam proses menuju Net Zero Emission (NZE) seperti proses perubahan energi fosil ke energi terbarukan.

Dampak dari kedua risiko ini mengakibatkan besarnya kerugian ekonomi. Dalam 20 tahun terakhir, mencapai US$5,1 triliun (AON – Catasthrope Insight, 2020). Sementara, menurut Swiss Re Institute (2021), mencapai  18% dari PDB Global. Di Indonesia, diperkirakan mencapai  Rp100 triliun per tahun dan terus meningkat 40% PDB pada 2048, lebih tinggi dari rata-rata global (Bappenas, 2021).

Selanjutnya, dampak moneter. Seperti kenaikan volatilitas harga, terganggunya  transmisi suku bunga dan pelemahan nilai tukar. Terakhir, dampak stabilitas sistem keuangan. Seperti meningkatnya risiko kredit dari aset terbengkalai dan terbatasnya akses keuangan hijau.

Pemerintah harus memikirkan kembali program-program antisipasi risiko perubahan iklim yang stagnan. Karena risiko ini bukan lagi masalah jangka panjang, tetapi mendesak.

Ekonomi Hijau

Saat ini, Indonesia menduduki peringkat terbawah dari 159 negara dalam mempersiapkan NZE  (Energy & Climate Intelligence Unit, Juli 2023). Padahal, selalu aktif dalam forum internasional dan terakhir dalam G20.

Lambatnya implementasi ekonomi hijau seperti penggunaan energi ramah lingkungan dan kendaraan listrik menjadi sebab. Sebagaimana diketahui, ekonomi hijau menjadi solusi ketahanan bencana dan mengurangi emisi hingga 68% tahun 2045. Secara tak langsung juga menciptakan 1,8 juta lapangan kerja di 2030 dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1-6,5% per tahun hingga 2050 (Green Economy Indeks, 2022).

Baca juga: Momentum Tepat Asean Terapkan Mitigasi Perubahan Iklim

Dari sisi investasi, terdapat peluang terutama di pertambangan, infrastruktur dan energi. Contohnya biofuel dan tenaga surya. Nilai investasi pada sektor ini mencapai  US$792 miliar  (DBS, 2017).

Sebab itu, Pemerintah wajib mendaur ulang aksi ini lebih progresif dan bukan sekedar Jargon. Pertama, perkuat komitmen dan kebijakan. Perlunya komitmen tinggi dari top  dan bottom level, hulu ke hilir dan semua sektor dalam menjalankan kebijakan hijau. Negara dapat memaksimalkan BUMN sebagai  role model dan akselerator aksi ekonomi hijau.

Selain itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih mengikat. Menurut CAT (2022), kebijakan yang ada masih belum cukup untuk  mencapai target emisi.

Kedua, kematangan manajemen risiko. Komitmen dan kebijakan yang telah ditetapkan harus dilapisi dengan pengelolaan risiko transisi yang baik. Hal ini bertujuan untuk memperkecil kerugian dan keterlambatan dalam mencapai tujuan.

Ketiga, peningkatan pengawasan  dan sanksi.  Hampir disetiap sektor, ketidakberhasilan dikarenakan lemahnya pengawasan, yakni konsistensi eksekusi dan laporan emisi. Pemerintah harus “cawe-cawe” dan bertindak tegas dengan pemberian sanksi bertahap bagi para pelaku yang tidak komitmen.

Peran Perbankan dan Asuransi

Keempat, optimalisasi akses pendanaan . APBN hanya mampu membiayai 34% dari kebutuhan investasi hijau (Thaird Biennial Report, 2021). Dibutuhkan peran perbankan dalam asesmen hijau. Bank juga harus memberikan insentif, memperbesar kapasitas dan mempengaruhi nasabah menggunakan produk keuangan hijau.

Dari sisi Bank Sentral, Bank Indonesia (BI) telah menetapkan kebijakan makroprudensial hijau. Seperti insentif uang muka kredit (LTV) untuk electric vehicle dan property hijau, RPIM hijau dan repo hijau. Hanya saja, BI harus lebih bekerja keras dalam menggerakan kesadaran publik, peningkatan riset dan kolaborasi taksonomi hijau  dengan OJK.

Indonesia juga perlu meneladani Korea Selatan dan China dalam konsistensi pendanaan hijau. Korea selatan, sejak 2009 mengalokasikan 2%-10%. Sedangkan Cina, berinvestasi besar di energi terbarukan, terlihat dari kapasitas tenaga angin  dan tenaga surya terbesar di dunia, mencapai 288,32 gigawatt  dan 129 gigawatt (BloombergNEF, 2021).

Kelima, ikut sertakan program asuransi. Selain memberikan proteksi  atas risiko fisik, asuransi juga mengantisipasi risiko yang terjadi dalam masa transisi atas proyek hijau. Baik yang disalurkan dari bank atau tidak.

Perusahaan Asuransi juga dapat memperbesar bobot seleksi risiko. Selain itu, meningkatkan retensi dan   kapasitas reasuransi dalam memberikan akseptasi hijau. (*)

Related Posts

News Update

Top News