Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
PERTUMBUHAN ekonomi bukan sekadar angka, tapi napas rakyat. Juga, pertumbuhan ekonomi bukanlah deretan statistik yang dingin. Ia adalah denyut nadi kehidupan, tarikan napas warga yang berjuang di pasar-pasar, di pabrik-pabrik, di jalanan yang tak lagi ramah.
Hari-hari ini, udara terasa semakin sesak. Anak-anak muda menggenggam ijazah dengan harapan yang kian menipis, sementara mereka yang bekerja bergulat dengan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan pertama 2025—yang hanya 4,87 persen—seolah menjadi bukti bisu dari kegelisahan ini. Ekonomi Indonesia sebesar itu lebih rendah dari triwulan IV 2024 sebesar 5,02 persen. Masih jauh dari janji Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan 8 persen.
Pekan lalu, Bank Dunia (World Bank), dengan kalkulasinya sendiri, bahkan menyodorkan angka yang lebih pahit: 60,1 persen penduduk Indonesia, atau sekitar 170 juta jiwa, terperangkap dalam jerat kemiskinan. Indonesia Emas 2045? Jargon itu kini mulai terdengar seperti lelucon pahit di tengah deru kekecewaan. Jika tak ada perubahan radikal, perubahan arah kebijakan ekonomi, target itu mungkin hanya akan menjadi Indonesia Cemas—sebuah negeri yang terengah-engah di bawah beban ketidakpastian.
Tak ada yang meragukan niat mulia Asta Cita. Program-program seperti Danantara, Koperasi Merah Putih, Makan Bergizi Gratis (MBG), dan proyek 3 juta rumah dianggap sebagai mesin baru penggerak pertumbuhan ekonomi 8 persen. Program tersebut merupakan ide dan gagasan baru untuk menciptakan permintaan. Bahkan, memecah kebekuan atas jebakan pertumbuhan stagnan 5 persen.
Tapi di mana realisasinya? Kredit perumahan macet, permintaan lesu, dan program-program itu masih terasa seperti mimpi di siang bolong. Tanpa terobosan baru, ekonomi Indonesia mungkin akan tetap merangkak di kisaran 4-5 persen, digerakkan oleh konsumsi masyarakat dan nasib komoditas yang fluktuatif. Bahkan, dalam seloroh para ekonom, Indonesia disayang oleh Tuhan. Alasannya, tanpa kerja keras pemerintah, pertumbuhan 4-5 persen sudah di tangan. Tuhan maha baik dengan memberi sumber daya alam (SDA) yang melimpah.
Tapi apakah itu cukup? Tidak. Pertumbuhan 8 persen membutuhkan lebih dari sekadar Anggaran Pendapatan dan Belanjan Negara (APBN) yang di selama ini “lahap” akan utang. Atau, keberuntungan dari kenaikan harga komoditas. Ia butuh strategi yang jelas, eksekusi yang tepat, dan kepemimpinan yang berani mengambil langkah-langkah tak populer. Lebih penting dari itu harus mampu mengembalikan re-trust kepada pasar dan masyarakat.
Namun belakangan ini ada dua peristiwa langka. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto membatalkan mutasi terhadap tujuh Perwira Tinggi (Pati). Salah satunya adalah Letnan Jenderal (Letjen) TNI Kunto Arief Wibowo, anak mantan Wakil Presiden (Wapres) Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno. Perubahan itu tentu mengagetkan, karena tak lazim terjadi di TNI. Umumnya keputusan di TNI sudah melalui pertimbangan sangat matang, dan karenanya belum pernah terdengar keputusan Panglima TNI dianulir dalam waktu singkat. Hal ini menimbulkan dampak buruk bagi dunia usaha. Bukan sekadar itu, tapi mengkonfirmasi ada matahari kembar.
Kedua, soal Hasan Nasbi, yang sudah mengundurkan diri, tapi masih ikut Rapat Kabinet karena tetap diundang. Ini bak pepatah Kenya, ”Sudah tapi Belum,” Sudah mundur tapi masih ngantor. Kedua hal inilah yang dicatat masyarakat tentang adanya inkonsistensi kebijakan. Dan, akan mendistorsi kepercayaan publik dan pasar.
Enam Bulan yang Menyedihkan: Tanda-tanda Kegagalan?
Pemerintahan Prabowo sudah berjalan enam bulan. Pada awal-awal ada optimisme yang besar. Enam bulan bukanlah waktu yang panjang, tapi cukup untuk melihat arah angin. Konsumsi masyarakat melemah, indeks manufaktur merosot menjadi di bawah 50 persen atau tepatnya 46, pasar modal terkapar, dan kemiskinan—versi Bank Dunia—makin menjadi. Likuiditas perbankan kian ketat, sementara rakyat kecil terpaksa menggerus tabungan mereka untuk sekadar bertahan hidup. Prabowo menghadapi ujian berat.
Ia harus segera membersihkan ketidakpastian investasi dengan memberantas premanisme yang mengganggu pembangunan. Ia perlu merombak kabinetnya, mengganti menteri-menteri yang gagap dengan teknokrat yang mampu menerjemahkan visi besar ke dalam langkah nyata. Ia juga harus menghentikan kegaduhan politik—seperti isu “matahari kembar”—yang hanya mengalihkan perhatian dari tugas utama: menyelamatkan perekonomian.
Reshuffle. Bukan sekadar ganti wajah. Tapi perbaiki DNA kabinet. Dan, kabinet ini tak bisa lagi diisi oleh politisi yang hanya pandai beretorika atau bak “anak magang” yang tak punya kapasitas. Kompromi politik bisa saja tetap dipertahankan dengan tetap menyodorkan para kaum teknokrat. Hal ini bisa mengambl contoh ketika di Orde Baru dengan mempercayakan para teknokrat, seperti Widjojo Nitisastro Cs
Sebab, pasar butuh kepastian, butuh kepercayaan yang kini kian merosot. Prabowo harus berani melakukan reshuffle total—mengembalikan trust dengan menempatkan orang-orang kompeten yang bisa bekerja, bukan sekadar bicara. Atau, omon-omon yang sulit diterjemahkan oleh para menteri yang kurang jam terbang, atau menteri kelas magang seperti layaknya mahasiswa kelas akhir yang magang di kantor-kantor.
Jika tidak, pertumbuhan 8 persen akan tetap menjadi mimpi yang jauh di ujung horizon—sementara rakyat terus terjebak dalam lingkaran kesulitan yang tak berujung. Dan waktu, sayangnya, tidak berpihak pada mereka yang ragu. Presiden Prabowo harus mengembalikan regain trust dari masyarakat dan pasar . Sudah waktunya pula, Presiden Prabowo berdamai dengan sektor keuangan.
Bahkan, sudah waktunya mengakhiri “matahari kembar” yang membuat “kelojotan” kepanasan dunia usaha. Langkah reshuffle salah satu jalan pintas. Namun demikian, bukan sekadar ganti wajah. Tapi perbaiki DNA kabinet yang market friendly dan bukan kabinet balas budi yang hanya numpang tenar dan numpang makan. (*)