Jakarta – Perekonomian Indonesia telah menunjukan ketahanan didukung oleh fundamental yang kuat dan potensi besar dari sektor digital. Berdasarkan data dari e-Conomy South East Asia Report tahun 2022 ukuran ekonomi digital Indonesia telah mencapai US$77 miliar atau tumbuh 22% yoy.
Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia juga didukung oleh munculnya teknologi finansial (fintech) dengan kemampuan memberikan layanan keuangan yang efisien dan mudah diakses dalam memberikan akses kredit bagi individu dan entitas bisnis.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono mengatakan, Indonesia sebagai pemain digital di kawasan yang menyumbang sebesar 40% dari total nilai transaksi ekonomi digital Asia Selatan.
Lebih lanjut, Indonesia merupakan pemain digital yang signifikan di kawasan, yakni menyumbang sebesar 40% dari total nilai transaksi ekonomi digital Asia Selatan. Pertumbuhan ekonomi digital masyarakat Indonesia juga didukung oleh munculnya fintech teknologi finansial dengan kemampuan memberikan Layanan Keuangan yang efisien dan mudah diakses.
Per Januari 2023, fintech P2P lending termasuk Buy Now Pay Later (BNPL) mencapai 102 entitas dan 97 dalam 15 klaster dari Digital Finance Inonovation (DFI) temasuk ICS, yang ada di dalam pengawasan OJK.
“Penting untuk diakui bahwa ada beberapa jenis lembaga keuangan di Indonesia yang menawarkan produk kredit, termasuk bank, perusahaan multifinance, platform pinjaman peer-to-peer, pegadaian, lembaga keuangan mikro, dan koperasi/serikat kredit,” jelas Ogi, Kamis, 16 Maret 2023.
Namun, setiap lembaga memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing dalam praktik pemberian kredit mereka. Menurutnya, dengan berbagai jenis lembaga keuangan di Indonesia yang menawarkan produk kredit kepada individu dan bisnis, penting bagi lembaga-lembaga ini untuk secara efektif mengurangi risiko kredit.
“Dampak risiko kredit pada layanan keuangan dapat menyebabkan kerugian yang signifikan, menurunkan profitabilitas, dan berpotensi menyebabkan kebangkrutan,” kata Ogi.
Oleh karena itu, risiko kredit harus dikelola dengan baik melalui penilaian 5C, yang mencakup penilaian character, capacity, capital, collateral, and conditions, untuk membuat keputusan pemberian pinjaman yang terinformasi.
“5C kredit masih sangat penting di era Fintech dan Big Data, karena mereka memberikan kerangka kerja yang terstruktur dan komprehensif untuk manajemen risiko kredit,” ujarnya.
Kendati begitu, tak bisa dipungkiri munculnya pandemi Covid-19 telah menciptakan ekonomi yang lebih tidak pasti, meningkatkan risiko kredit bagi lembaga keuangan, dan menimbulkan tantangan tambahan dalam menilai dengan akurat kapasitas dan kondisi peminjam. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra