Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
JOKO Widodo (Jokowi) akan mengakhiri jabatannya sebagai presiden tahun ini. Selama pemerintahan Presiden Jokowi pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 4,11% per tahun. Jauh dari politiknya pada saat kampanye tahun 2014. Pertumbuhan ekonomi sebesar itu juga banyak dibiayai dengan utang. Rasio utang sektor publik terhadap PDB meningkat dari 36% pada 2013 menjadi 74% pada 2024. Khusus utang pemerintah selama lima tahun pertama pemerintahan Jokowi pemerintah naik dari Rp2.608 triliun pada 2013 menjadi Rp8.041,01 triliun pada 2023.
Sedangkan sumber pertumbuhan ekonomi dari ekspor tergantung cuaca komoditas tidak berkelanjutan. Investasi yang diharapkan lebih besar tidak terjadi karena “plin-plan” kebijakan dan banyak “hantu” biaya tinggi di lapangan.
Sementara bicara atau “omon-omon” kredit perbankan yang sering didorong-dorong oleh Jokowi untuk mengucur lebih besar pun hanya mencatat pertumbuhan rata-rata 8,11% per tahun selama 2014 hingga 2023. Sebelum tahun 2015, kredit perbankan masih mendorong perekonomian dengan pertumbuhan dua digit hingga di kisaran 20%. Pertumbuhan kredit mulai melambat sejak tahun 2015 dan perannya digantikan oleh APBN. Pertumbuhan kredit tahun 2014 masih sebesar Rp11,65%, dan tahun 2015, kredit merosot menjadi 10,40%.
Sementara tahun 2017 kredit tumbuh 8,35% dan 12,05% di tahun 2018 lalu melambat menjadi 6,08% pada 2019. Selama COVID-19 kredit landai, bahkan tahun 2020 kredit terkontraksi minus 2,4% dan tahun 2021 kredit tumbuh 4,82%. Akhir tahun 2022 kredit tumbuh 11,35%. Pertumbuhan kredit tahun 2023 sebesar 10,61%.
Di tengah keterbatasan anggaran negara, Jokowi sering menyampaikan kepada para bankir untuk giat meningkatkan penyaluran kreditnya untuk mendorong perekonomian. Terakhir pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) akhir tahun 2023, Jokowi menyindir para bankir yang suka menempatkan dananya di SBN dan BI. Sepertinya pembisiknya yang salah karena pemerintah justru seharusnya berterima kasih kepada para bankir yang ikut membiayai APBN.
Lagi pula, para bankir bekerja sesuai dengan mekanisme bisnis. Kalau bank tidak bernafsu mengucurkan kredit berarti kondisi ekonomi tidak mendukung. Bank memiliki strategi yang disesuaikan dengan risk appetite dan rencana bisnisnya masing-masing, termasuk dalam penempatan portofolio atau aset liquidity management.
Sebagai besar aset produktif perbankan pun masih berupa kredit. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 2023, jumlah kredit bank umum yang mencapai Rp7.186,93 triliun itu rasionya sebesar 61,08% dari total aset yang mencapai Rp11.765,84 triliun. Sedangkan porsi surat berharga yang senilai hanya 16,89% dari total aset.
Yang menjadi isu justru ketimpangan keuangan yang terindikasi dalam struktur dana pihak ketiga (DPK) yang timpang. Jumlah simpanan di perbankan didominasi duit-duit orang super kaya. Lihat saja data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per 2023, 61% dari DPK perbankan dimiliki oleh 0,63% rekening yang ada. Mereka adalah rekening simpanan senilai Rp2 miliar ke atas. Rata-rata mereka memiliki simpanan sekitar Rp14 miliar.
Struktur DPK perbankan tersebut segaris dengan apa yang disampaikan Garibaldi Thohir, salah crazy rich Indonesia yang mengklaim bahwa sepertiga ekonomi Indonesia disumbang oleh jumlah orang yang sedikit seperti dirinya. Sebelumnya, Global Wealth Report dari Credit Suisse 2022 juga melaporkan bahwa 1% orang terkaya menguasai hampir 37,6% dari total kekayaan di Indonesia. Sepuluh tahun lalu, Bank World Bank bahkan menyebutkan 10% orang terkaya Indonesia menguasai 77% dari seluruh kekayaan di negeri ini, dan 1% diantaranya menguasai separoh kekayaan yang ada.
Hampir genap 10 tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi tak sesuai yang dijanjikan sebesar 7% saat Jokowi ketika kampanye tahun 2014 lalu. Janji tinggal janji. Tapi itulah yang namanya kampanye. Masyarakat lupa janji pertumbuhan 7% dan tetap senang dengan pembangunan jalan tol, bendungan serta bagi-bagi beras bansos, kartu pintar, kartu pra kerja, kartu sehat dan kartu-kartu yang lain dengan mencetak utang pemerintah. Belajar dari itu, pasang calon presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memilih menebar janji politik memberi makan siang dan susu gratis. Jauh lebih mudah mewujudkannya dari pada berjanji menciptakan pertumbuhan ekonomi 7%.
Tapi dalam dunia ekonomi dan politik tidak ada makan siang gratis. No free for lunch, kata Milton Friedman, peraih nobel ekonomi tahun 1976. Ada biaya atau kompensasi dari apa yang dinikmati. Biaya makan siang dan susu gratis pastinya bukan dari para taipan dan crazy rich yang menjagokan pemerintahan ini, tapi dari APBN.
Lalu dari mana biaya makan siang gratis sementara defisit APBN dibatasi 3% dan bunga utang yang harus dibayar pemerintah mencapai Rp437,4 triliun, jauh lebih besar dari biaya kesehatan yang hanya Rp187,5 triliun? Akankah memangkas belanja rutin seperti subsidi, terutama subsidi energy, yang membuat rakyat merogoh kantong lebih dalam untuk kebutuhan sehari-hari? Apakah presiden terpilih juga akan terus “haus” utang untuk menopang pertumbuhan ekonomi?
Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 551 Maret 2024.