Ekonomi dalam Bayangan Krisis di Tengah Kegaduhan Ijazah Palsu

Ekonomi dalam Bayangan Krisis di Tengah Kegaduhan Ijazah Palsu

Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute

DATA tak berbohong. Denyut nadi ekonomi negeri ini melemah, tapi para penguasa masih asyik menari di atas panggung ilusi. Mereka bersembunyi di balik retorika optimisme yang usang, seolah-olah kata-kata manis bisa mengubur fakta bahwa Indonesia sedang “menggigil” demam.

Boleh jadi bukan sekadar lesu darah yang kita hadapi, melainkan “koma” panjang—sebuah malapetaka turun-temurun yang akan menjadi warisan paling kejam untuk anak-cucu. Pemerintah boleh saja berpura-pura tuli, tapi sejarah akan mencatat mereka sebagai “algojo” Indonesia Emas.

Di tengah ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Tapi justru hari-hari ini kita disibukkan dengan kegaduhan ijazah asli dan ijazah palsu. Padahal, akan lebih baik mengembalikan kepercayaan masyarakat dan pasar dari cap yang sudah melekat yang sering disebut omon-omonomic. Padahal pemerintahan Prabowo punya modal besar, meski para pembantunya sulit melaksanakan program besar yang digagas – karena sebagian besar para menterinya kelas “magang”.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 hanya 4,87 persen (yoy), lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Yang lebih mengkhawatirkan, ekonomi justru terkontraksi 0,98 persen dibanding kuartal IV-2024. Ini bukan sekadar perlambatan, tapi sinyal resesi yang mulai mengintip.

Polarisasi konsumsi semakin nyata. Jujur. Kelompok atas masih bertahan, sementara daya beli masyarakat bawah terus merosot. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) terus anjlok sejak November 2024, menandakan pesimisme yang kian dalam. Bahkan, penurunan pendapatan perusahaan seperti Telkomsel dan konsumsi mi Instan Indofood menjadi bukti nyata melemahnya daya beli. Data simpanan di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukan bahwa simpanan kelompok kecil makin kempis – dan ini menunjukan kelompok ini sedang “mantab-mantabnya” – alias makan tabungan. Bahkan, dalam guyonan sehari-hari, karena saking sulitnya uang, tuyul pun juga sudah mengeluh kalau cari duit juga susah.

Baca juga: Bank Mandiri Proyeksi Ekonomi Indonesia Tahun Ini Tumbuh di Bawah 5 Persen

Sejalan dengan itu, sektor tenaga kerja, formal rontok, dan informal menggurita – tanpa jaminan kerja. Pengangguran merangkak naik, terutama di sektor manufaktur yang mengalami kontraksi terdalam sejak Agustus 2021. Yang lebih memprihatinkan, sektor formal terus menyusut, sementara sektor informal—dengan upah rendah dan perlindungan minim—justru membengkak.

Sektor pertanian kembali menjadi “penampung” tenaga kerja terbesar, bukan karena kemajuan, tapi karena kegagalan industri menciptakan lapangan kerja layak. Padahal, program pelatihan kerja (BLK) dinilai tidak lagi relevan dengan kebutuhan industri. Pabrik-pabrik banyak yang tutup. Para pekerja kembali ke desa untuk berebut lahan warisan yang tak seberapa. Dan, yang tak ada warisan terpaksa bekerja apa saja. Jujur, ini menyimpan bom waktu masalah sosial, dan karena itu pula subur menjadi “preman”.

Sementara pemerintah tak jarang membuat kebijakan yang tidak konsisten. Itu berdampak pada pasar. Bahkan, pemerintah kerap terjebak dalam retorika optimisme, sementara realitas berbicara lain. Misalnya: belanja pemerintah yang dipangkas justru memukul sektor perhotelan dan pariwisata. Diikut turunannya, sektor restoran dan UMKM yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi.

Tidak hanya itu, UU Cipta Kerja yang diharapkan menarik investasi malah diikuti oleh penurunan minat investor asing. Bahkan, pada awal pemerintahan, tentang kebijakan fiskal yang tidak konsisten, seperti tarik-ulur kenaikan PPN, telah menggerus kredibilitas di mata pasar. Bisa jadi itu melegakan masyarakat. Namun, dari sisi kredibilitas kebijakan bisa dibatalkan dalam semalam.

Namun belakangan ini ada dua peristiwa langka. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto membatalkan mutasi terhadap tujuh Perwira Tinggi (Pati). Perubahan itu tentu mengagetkan, karena tak lazim terjadi di TNI. Umumnya keputusan di TNI sudah melalui pertimbangan sangat matang, dan karenanya belum pernah terdengar keputusan Panglima TNI dianulir dalam waktu singkat.

Kedua, soal Hasan Nasbi, yang sudah mengundurkan diri, tapi masih ikut Rapat Kabinet karena tetap diundang. Kini bekerja kembali. Ini bak pepatah membingungkan. “Sudah tapi Belum,” Sudah mundur tapi masih ngantor. Kedua hal inilah yang dicatat masyarakat tentang adanya inkonsistensi kebijakan. Dan, akan mendistorsi kepercayaan publik dan pasar.

Belum lagi masalah judi online yang “dibiarkan” merajalela, mengalirkan uang keluar negeri dan melemahkan ekonomi dalam negeri. Masyarakat diberi hiburan dan mimpi dengan judi online. Lima tahun terakhir omzet judi online menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah menembus lebih dari Rp1.000 triliun.

Sejalan dengan itu, Bank Dunia menyebut 60 persen penduduk Indonesia rentan miskin. Garis kemiskinan versi BPS pun dinilai terlalu rendah, mengaburkan realita penderitaan rakyat. Kelas menengah—yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi—kian menyusut dan bergeser ke kelompok rentan miskin. Kelompok rentan miskin ini boleh jadi menyimpan bom waktu.

Namun demikian – bukan berarti pemerintah tertutup jalannya. Pemerintah masih punya peluang di tengah badai. Meski suram, beberapa celah masih terbuka, seperti hilirisasi sumber daya alam, seperti nikel, bisa menjadi penopang ekspor. Bahkan, perang dagang global bisa dimanfaatkan untuk substitusi impor dan ekspor baru.

Program tiga juta rumah, paling tidak akan menciptakan permintaan sehingga mampu menggerakan permintaan. Namun di tengah kondisi seperti ini yang paling penting adalah mendorong penciptaan lapangan kerja. Atau, mengembalikan APBN untuk mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Sekarang ini, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang ada banyak yang macet, apalagi membangun rumah pun seret permintaan.

Sementara sektor keuangan relatif stabil dibanding krisis 1998, meski ini bukan jaminan. Untuk itu, sudah waktunya Pemerintah lebih peduli dengan sektor keuangan. Pasar modal memang menjadi tempat orang yang punya duit. Tapi pasar modal sama pentingnya dengan pasar “becek”. Sudah waktunya pemerintah memberi signal baik kepada pasar keuangan yang sedang berjuang memperdalam sektor keuangan (financial deepening) agar makin kokoh, dan tidak ringkih.

Baca juga: Ekonomi RI 2027 Bisa Tumbuh Lagi di Level 5 Persen, Asalkan…

Hal lain – program Koperasi Desa Merah Putih jangan sampai merusak bank-bank Himbara. Ide Koperasi Desa Merah Putih ini sejatinya menciptakan permintaan. Namun operasional dan tata kelola perlu disiapkan dengan baik dengan pengelola yang punya integritas. Jangan sampai kehadiran koperasi ini hadiah dari pemerintahan yang menang Pemilu.

Data-data berbicara jelas: ekonomi Indonesia sedang sakit. Pemerintah harus berhenti bersembunyi di balik narasi optimisme dan segera mengambil langkah nyata. Jika tidak, yang terjadi bukan sekadar perlambatan, tapi krisis berkepanjangan yang akan membebani generasi mendatang.

Jelas angka-angka ekonomi mengingatkan kita semua. Boleh jadi jika tidak ada perubahan kebijakan, Indonesia bisa terjebak dalam middle-income trap yang berkepanjangan. Solusinya bukan sekadar program populis seperti makan bergizi gratis, tapi reformasi struktural. Juga, pembersihan preman demi perbaikan iklim investasi, dan tentu perampingan birokrasi dan penangannan korupsi yang lebih tegas. Jangan lagi hukum menjadi komoditi yang dijual murah di meja hijau.

Saatnya kepercayaan harus kembali dibangun. Regain trust menjadi sangat urgent dari pada gaduh meributkan ijazah palsu. Pembuktian ijazah asli, atau palsu tak akan membuat masyarakat kenyang, tapi justru saat ini menimbulkan kegaduhan yang tidak menjawab persoalan ekonomi yang tidak baik baik saja. Pak Presiden, saat ini ekonomi Indonesia sedang dalam bayangan krisis. Jangan lagi ada matahari “kembar” yang saling sandera.

Related Posts

Top News

News Update