oleh Agung Galih Satwiko
PASAR saham di Asia kemarin menguat setelah sebelumnya melemah akibat data indikator ekonomi China yang kurang menggembirakan. Indeks Nikkei Jepang naik 0,3%, sementara indeks Hang Seng Hong Kong naik 0,8%. Di Eropa, FTSE 100 Inggris naik tipis 0,2%, dan S&P 500 di AS naik 0,9%.
Ekonomi China saat ini masih menghadapi tantangan dan hambatan (headwind). Naiknya utang nasional baik sektor publik, maupun sektor swasta termasuk rumah tangga, disertai dengan produksi berlebih pabrik-pabriknya tanpa diikuti meningkatnya permintaan, dan berbagai indikator ekonomi yang tampak lemah menunjukkan ekonomi China belum cukup solid. Beberapa indikator yang kurang menggembirakan antara lain: pertumbuhan ekonomi pada Q1 sebesar 6,7% merupakan rekor terendah sejak 2009, data output industri tumbuh 6% di bulan April, lebih rendah daripada bulan sebelumnya, kemudian data pertumbuhan penjualan ritel yang juga menurun (bulan April tercatat tumbuh 10,1% yoy, lebih rendah dari bulan Maret 10,5% yoy), penyaluran kredit perbankan bulan April yang turun menjadi sebesar 555,6 miliar Yuan (USD85,1 miliar) sementara bulan Maret tercatat sebanyak 1,37 triliun Yuan, dan juga belanja fiskal yang mulai menurun.
Seiring dengan mengalir keluarnya dana asing dari pasar ekuitas baik di negara maju maupun di negara berkembang, obligasi cenderung menjadi tujuan investor. Dalam 5 minggu terakahir, Merril Lynch mencatat terjadi net outflows dari pasar saham global sebesar USD7,4 miliar, dimana sekitar USD2,3 miliar berasal dari pasar saham di negara berkembang. Net outflows tersebut kemudian masuk ke pasar obligasi dan juga emas. Salah satunya adalah obligasi berdenominasi USD Indonesia. Merrill Lynch mencatat kenaikan return sebesar 11,9% year to date dengan memegang kombinasi antara obligasi korporasi Indonesia dalam USD dan juga obligasi negara berdenominasi USD (global bonds). Terlebih dengan ekspektasi akan kenaikan rating Indonesia oleh S&P yang tentunya akan semakin meningkatkan permintaan akan instrumen obligasi Indonesia.
Thailand mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 3,2% pada Q1 2016 yoy. Pertumbuhan ekonomi ini lebih baik dari perkiraan pengamat yaitu sebesar 2,8%. Belanja fiskal Pemerintah yang cukup signifikan membantu menopang pertumbuhan ekonomi di tengah lemahnya permintaan lokal dan ekspor.
Harga minyak dunia ditutup naik setelah Goldman Sachs menyatakan bahwa kondisi oversupply minyak dapat segera berubah menjadi defisit tahun ini. Turunnya produksi minyak Kanada dan Nigeria akan berpengaruh pada semakin terbatasnya produksi minyak global. Harga WTI crude Nymex untuk pengiriman Juni naik USD1,5 (3,3%) ke level USD47,7 per barrel. Sementara Brent crude London’s ICE untuk pengiriman Juli naik USD1,1 (2,4%) ke level USD48,9 per barrel.
Yield UST naik seiring naiknya harga saham dan harga minyak. Yield UST tenor 10 tahun naik 5 bps ke level 1,73%. Sejak awal tahun ini, yield UST 10 tahun telah turun 54 bps (akhir tahun lalu 2,27%). Sementara itu yield UST 30 naik 4 bps ke level 2,59%. Terkait Fed Fund rate, pelaku pasar menurunkan probabilitas kenaikan Fed Fund rate pada bulan Juni mendatang dari 43% pada hari kamis minggu lalu menjadi hanya 4% kemarin. Di Eropa, yield German bund tenor 10 tahun naik 2 bps ke level 0,14%.
Pasar SUN ditutup melemah tipis, yield SUN tenor 10 tahun naik 2 bps ke level 7,73%. Yield SUN tenor 10 tahun telah turun 101 bps sejak akhir tahun lalu yang tercatat sebesar 8,74%. IHSG ditutup turun 30 poin (0,6%) ke level 4.731. Investor asing membukukan net sell dalam jumlah kecil, sehingga year to date investor asing masih membukukan net buy sebesar Rp2,4 triliun. Sejak awal tahun, IHSG membukukan peningkatan indeks sebesar 3% (IHSG akhir tahun lalu sebesar 4.593,00). Sementara itu, nilai tukar Rupiah menguat Rp15 ke level Rp13.310 per Dolar AS. NDF 1 bulan menguat Rp14 ke level 13.401 per USD. CDS 5 tahun naik (persepsi risiko naik) 1 bps ke level 187 bps. CDS Indonesia 5 tahun telah turun 43 bps sejak akhir tahun lalu yang tercatat sebesar 230 bps. (*)
Penulis adalah staf Wakil Ketua DK OJK