Nusa Dua–Perubahan susunan kabinet kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla terutama tim ekonomi dinilai menghasilkan tim impian. Namun pasar masih akan menunggu kebijakan tim impian tersebut di bidang fiskal, utamanya terkait kebijakan anggaran dan pendapatan belanja negara (APBNP) 2016 yang dianggap terlalu optimistis.
“Biasanya ini bulan madu, setelahnya market akan melihat kebijakan apa yang akan dikeluarkan. Salah satu yang akan diperhatikan adalah APBNP kan agak terlalu optimistik, penyesuaiannya bagaimana kalau manageable budget cut dan kombinasi spend cut, itu akan direspons positif,” kata Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Rinaldy di Nusa Dua, Bali, Minggu, 31 Juli 2016.
Seperti diketahui, Pemerintah dalam APBNP 2016 menetapkan target yang dinilai masih terlalu optimistik oleh beberapa pihak. Asumsi pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 5,2%, sedikit lebih rendah dari asumsi makro di APBN 2016 sebesar 5,3%. Lebih rendahnya target pertumbuhan ekonomi tersebut berkaitan pada penerimaan. Pemerintah mematok target penerimaan pajak sebesar Rp1.347,78 triliun. Target pajak itu terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp855,84 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp474,23 triliun dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp17,71 triliun. Jika penerimaan pajak tak mencapai target maka belanja pemerintah harus dipangkas jika tidak mau defisit anggaran melebar. Pasalnya target defisit anggaran dipatok sebesar 2,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Oleh karena itu Leo mengatakan, pemotongan anggaran menurutnya perlu dilakukan jika penerimaan negara tak mencapai target. Dia mengatakan defisit fiskal masih bisa diperlebar hingga 2,6%-2,7%. Leo menghitung, Pemerintah perlu melakukan pemotongan anggaran hingga Rp88 triliun agar bisa mengelola defisit fiskal di level 2,6-2,7%. Menurutnya, penerimaan pajak yang ditargetkan tumbuh 24% kurang realistis, realisasi optimal kenaikan penerimaan pajak adalah 8%. Sehingga jika diasumsikan penerimaan pajak tumbuh 8%, kemudian belanja pemerintah realisasinya 96%, maka defisit fiskal bisa jebol ke level 3,3%. Hal tersebut akan melanggar Undang-Undang.
“Tapi kan enggak mungkin 3,3% maka harus dibawa ke 2,6-2,7% artinya Pemerintah harus melakukan pemotongan anggaran Rp88 triliun, itu datangnya, kalau Rp88 triliun dipotong maka Rp18 triliun-Rp19 triliun dari education cost, lainnya mungkin operational spending, jadi masih bisa dikelola,” kata Leo.
Oleh karena itu peranan belanja Pemerintah pada semester kedua ini dikhawatirkan tidak bisa sebesar paruh kedua tahun lalu. Sehingga pada paruh kedua tahun ini pertumbuhan ekonomi banyak berharap dari peranan swasta.
“Belanja pemerintah porsinya kecil tapi harus diingat adalah apa yang akan dilakukan Pemerintah akan menentukan investasi masuk apa enggak,” kata Leo. (*)
Editor: Paulus Yoga