Ekonom Minta Pemerintah Kaji Ulang PPN 12 Persen, Ini Alasannya

Ekonom Minta Pemerintah Kaji Ulang PPN 12 Persen, Ini Alasannya

Jakarta – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang rencananya berlaku pada 1 Januari 2025 menuai beragam reaksi. Sebab, kenaikan ini diperkirakan memberikan beragam dampak negatif bagi ekonomi Indonesia

Pelbagai pihak pun kontras terhadap kenaikan PPN 12 persen. Bahkan, dinilai pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan tersebut. 

Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai pihaknya mendukung wacana untuk kaji ulang kenaikan PPN menjadi 12 persen.

“Kalau pun memang ada wacana, pemerintah berpotensi mengkaji beberapa pungutan (PPN 12 persen) kita ikut mendukung,” katanya dalam acara Economic Outlook 2025, di Jakarta, Selasa, 3 Desember 2024.

Menurutnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen dirasa belum perlu. Apalagi, saat ini jumlah masyarakat kelas menengah kian menyusut dalam lima tahun terakhir. 

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pada 2023 jumlah masyarakat kelas ini hanya tersisa 17,13 persen. Sementara, hampir 50 persen masyarakat Indonesia berada di level Expiring Middle Class atau terancam turun kasta ke kategori miskin.

Baca juga : Bos AAJI Beberkan Dampak Kenaikan PPN 12 Persen terhadap Industri Asuransi Jiwa

“Terpenting adalah, bagaimana agar momentum konsumsi khususnya kelas menengah bisa kembali membaik dulu,” jelasnya.

Selain itu, pihaknya menekankan pentingnya penciptaan lapangan pekerjaan. Sebab, jika menilik kondisi struktural berdasarkan laporan BPS bahwa sektor informal Indonesia terus berkembang. 

“Jadi, bagaimana kita bisa meningkatkan porsi di sektor informal itu berkurang ya dengan peningkatan kualitas SDM kita,” pungkasnya.

Penolakan PPN 12 Persen

Ekonom senior sekaligus Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo menegaskan tidak setuju apabila PPN naik menjadi 12 persen. Ini dikhawatirkan berdampak pada penerimaan pajak.

“Jadi saya pribadi sebagai ekonom saya agak khawatir dengan kenaikan 12 persen itu dampaknya terhadap penerimaan pajak kita,” ujar Drajad dalam acara Indonesia Future Policy Dialogue “Telaah Arah Pemerintahan Baru”, seperti diberitakan Infobanknews, pada 9 Oktober 2024.

Menurutnya, penerapan PPN 12 persen akan berdampak ada daya beli masyakarat. Pasalnya, dipastikan sejumlah barang akan mengalami kenaikan dan berimbas pada aktivitas belanja masyarakat.

Baca juga : Gapensi Tolak Keras PPN 12 Persen: Bisa Perlambat Proyek Pemerintah

“Bagaimana kalau dengan kenaikan itu orang yang bayarnya makin sedikit. Sama seperti barang kalau dijual lebih mahal, orang yang beli makin dikit kan ujungnya penerimaan kita jeblok,” jelasnya.

Sementara, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menuturkan, jika tarif PPN 12 persen di 2025 akan menyebabkan kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan hitungan INDEF kenaikan PPN 12 persen ini akan menyebabkan upah nominal menurun, sehingga dapat berpengaruh terhadap susutnya pendapatan riil. Dari sisi inflasi juga akan terkontraksi, serta kinerja ekspor serta impor akan jeblok.

“Kenaikan tarif PPN itu akan membuat kontraksi perekonomian. Jika skenario kenaikan tarif PPN tetap dilaksanakan, maka pendapatan masyarakat akan turun, pendapatan riil turun, dan konsumsi masyarakat jelas turun. Sehingga ini tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, tapi juga pedesaan,” ujar Esther.

Berdasarkan simulasi INDEF, skenario kenaikan tarif PPN sebesar 12,5 persen, akan menurunkan upah nominal sebesar -5,86 persen, Indeks Harga Konsumen (IHK) terkontraksi 0,84 persen, dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) akan terkontraksi 0,11 persen.

Adapun konsumsi masyarakat akan terkontraksi 3,32 persen, ekspor dan impor akan terkontraksi masing-masing sebesar 0,14 persen dan 7,02 persen.

“Ini angka skenario jika tarif PPN dinaikan jadi 12,5 persen. Tetapi pada saat pemerintahan presiden terpilih Prabowo nanti Januari 2025 tarif PPN rencananya akan dinaikan 12 persen. Jadi kurang lebih angkanya sekitar ini,” jelasnya. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

News Update

Top News