Ekonom: Krisis Sri Langka Bisa Picu Larinya Aliran Modal Asing

Ekonom: Krisis Sri Langka Bisa Picu Larinya Aliran Modal Asing

Jakarta – Gagal bayar Utang Luar Negeri (ULN) serta kerusuhan sosial yang terjadi di Sri Lanka adalah imbas dari salah urus kebijakan fiskal, berakibat pada bangkrutnya negara. Krisis di Sri Lanka ini dinilai bisa memicu larinya aliran modal asing dari pasar surat utang di Indonesia sebagai negara berkembang.

“Indonesia dan Sri Lanka sama-sama negara berkembang atau lower-middle income countries, meskipun hubungan dagang antara Indonesia-Sri Lanka terbilang kecil, namun persepsi investor dan kreditur akan menganggap negara kita memiliki risiko yang tinggi. Krisis di Sri Lanka berisiko memicu pelarian modal dari pasar surat utang di Indonesia,” jelas Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira, saat dihubungi Infobank, Jum’at, 24 Juni 2022.

Bima menilai pemerintah seharusnya belajar dari Sri Lanka agar lebih memperhatikan kondisi utang. Sebaliknya, pemerintah saat ini justru menambah pinjaman baru, alih-alih mendorong realisasi proyek infrastruktur yang sebenarnya belum mendesak.

“Selama Maret 2019 hingga Maret 2022, utang pemerintah bertambah Rp2.485 triliun. Tidak hanya disebabkan karena pandemi, struktur utang pemerintah masih berat digunakan ke belanja pegawai, belanja barang dan belanja pembayaran bunga utang. Artinya, utang habis untuk pengeluaran birokrasi pemerintahan. Ini kan tidak produktif,” kata Bima.

Adapun, risiko kenaikan suku bunga dan inflasi juga bisa membuat beban utang luar negeri semakin berat, karena imbal hasil surat utang alami kenaikan dalam beberapa tahun ke depan. Menurut data ADB, yield SBN tenor 10 tahun telah alami kenaikan sebesar 102.9 basis poin sejak awal tahun (ytd) menjadi 7.41%.

“Kreditur tentu memaksa agar bunga utang semakin tinggi sebagai kompensasi dari naiknya inflasi. Ini situasi yang sangat buruk bagi pengelolaan utang pemerintah,” imbuh Bima. (*) Irawati

Related Posts

News Update

Top News