Jakarta – Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky menilai arah kebijkan moneter Bank Indonesia (BI) turut berkontribusi terhadap melemahnya daya beli masyarakat kelas bawah dan menengah. Hal ini disebabkan karena kebijakan BI cenderung menyerap likuiditas dari perekonomian nasional.
“Operasi moneter Bank Indonesia selama lebih dua dekade terakhir lebih bersifat absorpsi atas likuiditas perekonomian. Terlihat dari nilai neto operasi moneter bersifat absorpsi, dan didukung oleh lebih banyaknya instrumen dibanding yang bersifat injeksi,” ujar Awalil dalam keterangan resmi, Rabu, 16 April 2025.
Awalil menyebutkan arah kebijakan tersebut semakin jelas terlihat dalam lima tahun terakhir, terutama pada 2024.
Operasi moneter yang bersifat absorpsi meningkat tajam dari Rp297,49 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp694,01 triliun pada akhir 2020, lalu melonjak lagi menjadi Rp881,27 triliun pada akhir 2021.
Meski sempat menurun pada 2022 dan 2023, jumlahnya kembali naik signifikan menjadi Rp945,56 triliun pada akhir 2024.
Baca juga: Indeks Penjualan Riil Februari 2025 Meningkat, Ini Pemicunya
Per Maret 2025, posisi kebijakan masih dalam mode absorpsi dengan nilai besar, yaitu Rp922,58 triliun. Beberapa instrumen yang digunakan meliputi SRBI sebesar Rp891,13 triliun, repo Rp165,31 triliun, deposit facility Rp103,49 triliun, dan Sukuk BI sebesar Rp64,48 triliun.
Awalil menyatakan, kebijakan moneter tersebut memang menjadi penyebab rendahnya inflasi selama beberapa tahun terakhir, namun berisiko terhadap kurangnya dorongan ekonomi, termasuk penciptaan lapangan kerja.
“Dari berbagai narasi kebijakan Bank Indonesia, alasan utama operasi moneter adalah menjaga tingkat inflasi. Akan tetapi, dapat mengurangi dorongan pada pertumbuhan ekonomi, termasuk penciptaan lapangan kerja. Kebijakan ini yang membuat bank menjadi ‘malas’ menyalurkan ke sektor riil,” ungkapnya.
Awalil juga menyoroti tingginya kepemilikan BI atas Surat Berharga Negara (SBN) domestik yang kini mencapai Rp1.547,41 triliun atau 24,62 persen dari total per 10 April 2025.
“Bisa saja ditafsirkan bahwa BI menilai uang lebih berguna disalurkan ke pemerintah dibanding ke sektor riil melalui Bank,” imbuhnya.
Baca juga: 6 Jurus Ampuh Mencapai Financial Freedom bagi Generasi Muda
Namun, lanjut Awalil, kondisi tersebut menyebabkan ruang gerak kebijakan fiskal maupun moneter semakin terbatas, terutama ketika ketidakpastian ekonomi meningkat dan perlambatan mulai terasa.
“Mestinya otoritas ekonomi (pemerintah dan Bank Indonesia) lebih bersikap ‘countercyclical‘. Namun, daya untuk itu cenderung makin lemah,” tandasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra
Poin Penting Danantara Indonesia dan BP BUMN mengerahkan 1.066 relawan serta 109 armada truk melalui… Read More
Poin Penting Komdigi ajukan delisting delapan aplikasi yang diduga menyalahgunakan data nasabah pembiayaan kendaraan bermotor… Read More
Poin Penting IPCM bagikan dividen interim tahun buku 2025 sebesar Rp4,40 per saham atau total… Read More
Poin Penting TKD hingga November 2025 terealisasi Rp795,6 triliun atau 91,5 persen dari pagu APBN,… Read More
Poin Penting RUPSLB GPSO menyetujui perubahan susunan direksi dan dewan komisaris, termasuk pengunduran diri empat… Read More
Poin Penting RUPSLB Bank Mandiri pada 19 Desember 2025 resmi mengangkat Zulkifli Zaini sebagai Komisaris… Read More