Jakarta – Rencana Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk merevisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) masih menuai kritikan dari berbagai pihak. Revisi UU BI yang menghapuskan pasal 9 UU 23/1999 mengenai larangan melakukan segala bentuk campur tangan atas tugas BI dinilai mengganggu indepedensi BI dalam hal kebijakan moneter.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede beranggapan, pada dasarnya independensi BI multak harus dipertahankan. Dimana sesuai amanat UU, BI merupakan lembaga negara yang independen bebas dari campur tangan Pemerintah. Dalam hal ini tugas utama BI ialah memelihara kestabilan nilai rupiah yang mengandung dua aspek, yakni stabilitas nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta stabilitas terhadap mata uang negara lain.
“Dengan rekomendasi dari Baleg DPR tersebut, dimana fungsi tujuan BI yang diamanatkan juga untuk mendorong pertumbuhan untuk mendukung penyerapan tenaga kerja berpotensi mengganggu independensi BI sebagai bank sentral,” kata Josua ketika dihubungi oleh Infobanknews di Jakarta, Jumat 4 September 2020.
Josua menambahkan, secara best practice, mandat bank sentral antar negara memang berbeda-beda dalam fungsi masing-masing. Namun menurutnya, ada kesepakatan global bahwa bank sentral memiliki tugas sebagai stabilisator ekonomi makro. Artinya sebagai otoritas moneter, BI mengelola kebijakan moneter yang fokus dalam stabilisasi perekonomian.
“Jika mandat BI diperluas untuk mendorong pertumbuhan terdapat beberapa risiko yang dapat terjadi pernah dialami dimana perekonomian Indonesia mengalami kontraksi ekonomi pada tahun 1962 diikuti oleh hyperinflation sebelum fungsi independensi BI diperkuat pada tahun 1999,” jelasnya.
Tak hanya berpotensi mengganggu ekonomi, adanya Dewan Moneter yang ikut campur dalam kebijakan BI dinilainya berpotensi mengganggu kepercayaan pasar global terhadap pengelolaan moneter di Indonesia. Josua menilai, pelaku pasar termasuk investor asing berpotensi merespon rencana dari Baleg DPR tersebut. Mengingat pasar telah banyak mengapresiasi independensi BI dalam mengawal stabilitas nilai tukar rupiah yang pada akhirnya juga mendukung stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
“Berkurangnya indenpensi BI sebagai bank sentral berpotensi memberikan sentiment yang kurang positif di pasar keuangan sehingga dapat mengganggu aliran investasi dan juga berpotensi mempengaruhi peringkat utang pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu, independensi BI mutlak dipertahankan dalam rangka menciptakan stabilitas perekonomian,” tegas Josua. (*)
Editor: Rezkiana Np