Edanomic: Ekonomi “Edan” Berwajah “Zombie” Penuh Suap

Edanomic: Ekonomi “Edan” Berwajah “Zombie” Penuh Suap

Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group

HARI-HARI ini sedang demam Soemitronomic. Diskusi-diskusi tentang Soemitronomic marak di berbagai forum. Entah hal ini karena Soemitro Djojohadikusumo adalah ayah dari Presiden Prabowo Subianto sehingga pemikirannnya layak dihidupkan kembali.

Soemitro Djojohadikusumo adalah ekonom besar yang mempunyai pemikiran hebat tentang Indonesia. Secara singkat Soemitronomic – ditelusuri dari pemikirannya – merupakan bapak industrilisasi Indonesia. Pemikirannya jernih tentang nasionalisme.

Bahkan, Infobank Institute mencatat dalam banyak wawancara di tahun 1980-an dan 1990-an menarik kesimpulan, Soemitro Djojohadikusumo dikenang sebagai “Bapak Industrialisasi Indonesia” yang visioner namun kontroversial. Gagasannya tentang industrialisasi berbasis Sumber Daya Alam (SDA), peran aktif negara, dan nasionalisme ekonomi terus menjadi referensi dalam debat kebijakan, terutama ketika isu ketergantungan pada komoditas, hilirisasi, atau peran BUMN mengemuka.

Media sering memunculkan namanya untuk mempertanyakan: “Sudah sejauh mana Indonesia mewujudkan mimpinya menjadi negara industri mandiri?” dan “Bagaimana menyeimbangkan nasionalisme ekonomi dengan tuntutan dunia global yang kompleks?”

Pendek kata, Soemitronomic mewakili semangat “berdikari” yang tegas, sebuah cetak biru ambisius yang pelaksanaannya di lapangan penuh tantangan dan seringkali menyimpang dari pemikiran “Sang Begawan” ekonomi inu. Sudahkan pemikiran Soemitro Djojohadikusumo sejalan dengan visi ekonomi Indonesia saat ini?

Jawabnya belum. Lihat saja selama 10 tahun terakhir ekonomi Indonesia dalam kondisi “edan-edanan”. Bahkan, ekonomi Indonesia selama 10 tahun terakhir bisa disebut “edanomic”. Apa itu edanomic? Ia bukan mazhab ekonomi, tapi sebuah pola ekonomi yang tanpa pola, atau mazhab tertentu.

Menurut Infobank Institute, “edanomic” adalah ekonomi gila-gilaan. Ekonomi yang menukar kedaulatan dengan utang, keadilan dengan suap, dan masa depan dengan bongkahan batu bara, nikel dan hasil mineral. Ia bukan kesalahan sistem, tapi buah dari sistem yang dikhianati oleh para elite rakus.

Bukan berarti dengan pertumbuhann 4,87 persen itu rendah. Bukan kufur nikmat. Tapi, kualitas pertumbuhan itulah yang menjadi masalah. Pertumbuhan tidak mampu mengangkat banyaknya tenaga kerja. Bahkan, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada utang dan harga komoditas.

“Edanomic”: Ekonomi gila-gilaan di negeri tambang dan suap. Itulah yang barangkali pas untuk menggambarkan kondisi ekonomi selama 10 tahun terakhir ini. Bayangkan sebuah mesin ekonomi yang jalannya miring: digerakkan utang, diganjal komoditas, dikendalikan oligarki, dan bocor di mana-mana. Pemberian bantuan sosial (bansos) hanya untuk pelipur lara untuk ditagih pada saat pesta demokrasi.

Di sini, politikus berjubah pengusaha, pengusaha bersorak jadi politikus. Sementara tambang menggerus bumi, dan bansos jadi umpan pemilu. Inilah “edanomic”. Ia bukan teori, tapi parodi ekonomi — yang memadukan sisi paling “busuk” dari kapitalisme, korupsi, kolusi dan nepotisme, serta keserakahan politik. Sistem yang mengejar pertumbuhan semu, sambil meracuni demokrasi dan lingkungan serta merusak tata kelola.

Sementara  wajah “edanomic” bak kapitalisme liar di tubuh negara rapuh. Hal itu bisa dilihat dari beberapa ciri;

Satu, kapitalis oligarki. Pasar bebas yang palsu. Wajahnya kapitalis, tapi jiwanya mafia. Lihat saja, pengusaha jadi politisi, politisi jadi konglomerat. Mereka ciptakan aturan main yang menguntungkan lingkaran dalam. Itu artinya, kompetisi mati sebelum lahir dan inovasi dikubur. Dan, yang hidup monopoli, proteksi dan kolusi. Maraknya Politikus-Pengusaha (Pol-Peng) & Pengusaha-Politikus (Peng-Pol). Bahkan, kursi menteri dan DPR jadi “kantor cabang” bisnis pribadi. Jelas itu konflik kepentingan. Apalagi, tujuannya mengendalikan kebijakan untuk monopoli pasar.

Dua, praktik subur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) ada di mana-mana di setiap ruang-ruang kementerian dan di atas meja hijau sekalipun. Juga, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) tinggi (6,4). Itu artinya, jika dibandinhkan dengan negara ASEAN, Indonesia tidak efisien, boros anggaran, seperti pernah diungkap oleh Soemitro Djojohadikusumo di awal tahun 1990-an.  

Tingginya ICOR berarti borosnya negara — yang terlihat dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme adalah darahnya. Praktik “premanisme” yang resmi maupun yang tak resmi marak. Bahkan, anggaran negara bocor lewat proyek fiktif, mark-up, dan bagi-bagi proyek ke kerabat. Nihil efisiensi. Disinyalir kuat, uang rakyat menguap di kantong elite.

Tiga, pertumbuhan semu. Selama ini, pertumbuhan ekonomi digerakan konsumsi negara dan masyarakat yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) – dan APBN bersumber dari utang. Juga, berkah kenaikan harga komoditas. Indonesia disayang Tuhan karena memang sumber alam dan komoditasnya belum habis dieksploatasi. Naik turunnya pertumbuhan ekonomi masih tergantung naik turunnya harga komoditas.

Pertanyaannya; apakah memang pertumbuhan 4,87 persen tinggi? Sekilas pertumbuhan relatif tinggi jika dibandingkan dengan banyak negara-negara saat ini. Namun demikian, jangan terkecoh. Sebab, Indonesia membutuhkan pertumbuhan yang lebih tinggi untuk menjadi negara berpenghasilan menengah. Bayangkan, jika kualitas pertumbuhan yang didorong oleh ekspor dan investasi tentu akan jauh lebih berkualitas dengan tingkat kebocoran yang rendah.

Sumber pertumbuhan lebih banyak dari dua hal, yaitu APBN yang lebih banyak dari utang yang menumpuk (pemerintah dan swasta) dan harga komoditas kebetulan naik. Seperti narkoba: memberi euforia sesaat, tapi bikin ketagihan dan rapuh. Saat utang jatuh tempo atau harga komoditas anjlok, ekonomi terkapar—rakyat kecil yang menanggung. Efisiensi anggaran telah mematikan ekonomi rakyat kecil. Daya beli ambrol.

Empat, tambang di mana-mana. Itu artinya, bumi dikeruk, rakyat dikerup atas nama investasi. Saat ini, tambang jadi mesin uang cepat bagi oligarki. Hutan dibabat, gunung dikupas, sungai tercemar. Keuntungan mengalir ke segelintir orang, sementara kerusakan lingkungan jadi warisan pahit untuk anak cucu. Contoh yang paling mengerikan adalah penambangan nikel di Raja Ampat yang menjadi “surga dunia”. Jujur. Saat ini, belum ada transisi ke ekonomi berbasis pengetahuan—hidup dari menjual kekayaan alam seperti warisan Nabi Sulaiman.

Empat, satu sisi berwajah sosial, tapi di sisi lain bansos menjadi senjata politik. Bahkan, bansos menjadi alat “beli” suara saat pemilu dan pilkada (serangan fajar). Demokrasi direduksi jadi transaksi. Uang ditukar suara. Hal yang tampak jelas, namun sepertinya “adem ayem” saja.

“Edanomic” Vs Teori Ekonomi

“Edanomic” bukanlah teori ekonomi, namun sebuah pola. Jika dibandingkan dengan teori ekonomi, maka “edanomic” sejatinya sebuah ekonomi kengerian. Ekonomi “zombie” yang penuh suap dan semu. Jika, kapitalisme klasik (Adam Smith) — percaya “tangan tak terlihat” pasar dan kompetisi sehat. Sedangkan “edanomic” adalah antitesisnya: “tangan besi oligarki” yang membunuh kompetisi. Pasar dikuasai kartel, bukan inovator.

Sementara ekonomi sosialisme (Karl Marx) — ingin pemerataan lewat negara. Edanomic pakai “baju sosialis” (bansos, koperasi yang datang dari atas), tapi isinya akumulasi kekayaan elite. Alih-alih rata, jurang kaya-miskin menganga – makin lebar.

Jika aliran Keynesianisme (John Maynard Keynes) — setuju intervensi negara dan utang untuk stimulasi jangka pendek. Sementara “edanomic” memelintirnya: utang jadi napas utama ekonomi. Bahkan, dipakai untuk proyek inefisien dan korup. Bukan investasi produktif, tapi pemborosan.

Dalam pemikiran ekonomi pembangunan (Joseph Stiglitz) — Stiglitz menekankan pemerataan, tata kelola bersih, dan lingkungan. “Edanomic” adalah gambaran kegagalannya. Seperti, ketimpangan akut, tata kelola bobrok, dan lingkungan rusak demi rente elite.

Itu tadi jika dibandingkan dengan teori ekonomi. Nah, jika dibandikan dengan “nomic-nomic” lain misalnya dengan Soemitronomic (Soemitro Djojohadikusumo) – yang fokus pada industrialisasi berbasis sumber daya lokal. Edanomic? Jual bahan mentah (tambang), industri terhambat korupsi. Sumber daya dikuras, nilai tambah minim.

Jika dibandingkan dengan Wijoyonomic (Wijoyo Nitisastro) — menekankan stabilitas makro, pertumbuhan seimbang, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Edanomic? Pertumbuhan spekulatif lewat utang & kanaikan harga komoditas. Juga,  stabilitas fiktif, SDM terabaikan. Pembangunan manusia kalah oleh proyek mercusuar.

Habibienomic (B.J. Habibie) —  berpijak pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan SDM unggul. Edanomic? Justru, anti-ilmiah. Bahkan, gila-gilaan mengandalkan eksploitasi SDA dan politik transaksional. IPTEK jadi pajangan, sementara mentalitas “kuli tambang” dipelihara. Perusakan lingkungan terjadi di mana-mana. Kekayaan terbang ke luar negeri yang hanya dinikmati para kroni dan segelintir orang.

Lain Habibienomic, lain pula Reaganomic (Ronald Reagan, AS) – yang menangkas pajak korporat, deregulasi, kurangi bansos. Meski timbulkan ketimpangan, namun Reaganomic masih dalam koridor kapitalisme kompetitif dan rule of law. Tapi, “edanomic”? Bisa disebut kapitalisme “preman”. Deregulasi untuk permudah kongkalikong, “pemotongan pajak” terjadi lewat korupsi dan suap. Bahkan, bansos malah jadi alat politik.

Jadi, “edanomic” merupakan jalan buntu yang harus ditutup. Meski, “edanomic” bukanlah aliran ekonomi, tapi penyakit kronis sistem politik-ekonomi Indonesia. Ia adalah perwujudan kapitalisme kroni (crony capitalism) dalam tahap metastatis yang menggerogoti demokrasi. Tidak hanya itu. Juga menghancurkan lingkungan, membodohi rakyat dengan pertumbuhan semu, dan menguras kekayaan bangsa untuk segelintir elite.

Sungguh membandingkannya dengan teori, atau kebijakan ekonomi mapan ibarat membandingkan sebuah “tumor ganas” dengan organ tubuh yang sehat. Soemitro, Wijoyo, Habibie, bahkan Reagan, memiliki kerangka pemikiran (yang bisa diperdebatkan) untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu. “Edanomic” tidak memiliki tujuan mulia; tujuannya adalah perpetuasi kekuasaan dan akumulasi kekayaan oligarki.

“Edanomic” sesungguhnya jalan setapak menadi jurang. Ia bukan solusi, tapi sumber masalah. Membiarkannya berarti menyetujui penjarahan masa depan anak negeri oleh para “tikus” raksasa yang bersembunyi di balik jubah kekuasaan, dan bendera-bendera kemakmuran semu.

Menurut Infobank Institute, saatnya membangun sistem ekonomi yang berdaulat, adil, dan berkelanjutan serta kemakmuran — yang berakar pada kepentingan rakyat banyak. Bukan nafsu segelintir elite. Ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya, bukan parodi “edan” yang menghancurkan. Dan, saatnya pula berhenti menari dalam pesta pora “edanomic” yang makin edan-edanan. Hal ini tentu tidak hanya menjadi omon-omon.

Pemikiran Soemitro Djojohadikusumo dalam Soemitronomic bisa menjadi jalan keluar dari “edanomic”. Tapi, syaratnya kepemimpinan yang kuat, tegas dan membabat habis “kroni-kroni” yang selama ini bersembunyi dalam ruang-ruang “edanomic”.

Dan, syarat tambahan perlu reshuffle – mengganti menteri kelas “magang” dengan menteri dengan DNA — yang memahi visi ekonomi Pemerintahan Prabowo. Bukan para penjilat yang ternyata masih butuh makan dengan menjadi komisaris-komisaris di banyak BUMN – yang sebenarnya termasuk ciri penting “edanomic”.

Akhirnya, “edanomic” – ekonomi edan-edanan perlu diakhiri dengan mengembalikan supremasi hukum yang tegas. Juga, mana fungsi eksekutif, mana legislatif dan yudikatif. Tidak campur aduk seperti “gado gado” — sebelum menjadi bencana besar bagi Indonesia untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62