Oleh Ida Bagus Kade Perdana, Mantan Direktur Utama Bank Sinar Jreeng, Pengamat ekonomi dan perbankan.
Banyak yang berpendapat bahwa Usaha Mikro Kecil Menengah atau yang disingkat UMKM, sudah menjadi kata yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat Indonesia, apalagi yang berkecimpung dalam dunia usaha.
UMKM adalah istilah umum dalam khazanah ekonomi yang merujuk kepada usaha ekonomi produktif yang dimiliki perorangan, maupun badan usaha sesuai dengan kreteria yang ditetapkan oleh undang undang No.20 tahun 2008.
Kehadiran UMKM mulai semakin diperhitungkan, dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, bila kita teringat dengan krisis moneter/finansial/keuangan yang terjadi diawal tahun 1997. Krisis moneter yang menurut Frederic S. Mishkin dalam bukunya Monetary Policy Strategy (2007) adalah krisis yang berhubungan dengan keuangan suatu negara.
Ditandai dengan keadaan keuangan yang tidak stabil akibat lembaga keuangan dan nilai tukar mata uang yang tidak berfungsi sesuai dengan harapan.
Wabah virus moneter ini telah menghantam bath mata uang negeri Gajah Putih Thailand diawal tahun 1997. Kemudian wabah virus krisis moneter ini tanpa diundang membuat kita tidak berdaya menghadapinya bahkan tidak mampu mencegahnya. Walaupun para corong pemerintah rezim Orde Baru telah berkoar koar mengatakan fundamental ekonomi Indonesia memiliki daya tahan yang kuat.
Namun kenyataannya “sontoloyo” diterjang wabah virus krisis moneter yang tidak pernah kita impor. Dengan mudah bisa merobek pertahanan ekonomi Indonesia. Sehingga mampu menjebol mata uang Garuda menjadi lunglai melemah terdepresiasi menembus level Rp4.650,- per USD diakhir tahun 1997. Padahal pada akhir tahun sebelumnya, rupiah masih bertengger perkasa dikisaran Rp2.300,- per USD.
Depresiasi mata uang (currency depreciation) merupakan penurunan daya beli mata uang domestik terhadap mata uang negara lainnya. Dengan demikian sudah pasti depresiasi mata uang memiliki dampak yang besar pada perekonomian, khususnya yang menyangkut perdagangan internasional dan transaksi keuangan internasional.
Tidak terhindarkan beberapa fakta yang menyebabkan fluktuasi nilai tukar menyangkut keberadaan neraca perdagangan, tingkat inflasi, cadangan devisa dan suku bunga. Diyakini dan dipastikan masalah tersebut yang mengindikasikan membuat rupiah terdepresiasi.
Ternyata fundamental perekonomian Indonesia saat itu berada dalam kondisi yang sangat lemah dan buruk, membuat rupiah terpuruk dan terdepresiasi tajam seperti itu. Rasa shock berat dan sontak membuat perbankan terguncang hebat karena bank menyimpan borok ditengah- tengah agresivitasnya.
Mengakhiri booming industri perbankan era tahun 1990 an yang dibangun atas dasar Paket Kebijakan Ekonomi bulan Oktober 1988, yang lebih dikenal dengan Pakto 88 yang merupakan libralisasi perbankan, dimana saat itu pembukaan bank diberikan kemudahan perizinannya. Dengan mudah orang bisa mendirikan bank dan menjadi bankir dengan modal Rp1 miliar.
Berlomba lomba orang membuat bank, sehingga banyak bertumbuhan bank bagaikan cendawan tumbuh dimusim hujan. Jumlah bank dalam volume meningkat pesat sudah pasti dengan kualitas yang rendah. Sepertinya para pengusaha, pembisnis, Pedagang, industriawan dan para rentenir yang semua kebanyakan pengusaha korporasi yang memang mendapat prioritas dan keistimewaan kepada para konglomerat sebagai mitra pemerintah Orde Baru. Ada kecenderungan saat itu perekonomian mengarah pada konglomerasi dan para pengusaha UMKM kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya dari para penguasa Orde Baru. Padahal sebagai besar masyarakat berada dan bergerak disektor UMKM.
Perbankan juga mulai dikuasai para konglomerat, banyak yang terjun menjadi bankir dan memiliki bank. Terdengar rumor yang tidak sedap kala itu katanya ada supir atau pesuruhnya yang dijadikan pengurus bank sehingga menjadi bankir dadakan yang dipoles dengan berjas dan berdasi. Apakah rumor itu benar tentu aku tidak tahu cobalah tanya pada rumput yang bergoyang. Niat baik para penggagas kebijakan ekonomi ini menjadi bencana yang mengerikan 9 tahun kemudian.
Kemudian dengan terjadinya krisis moneter membuat banyak perusahaan korporasi milik para konglomerat yang mitra pemerintah bertumbangan ambruk tidak mampu membayar kewajiban kepada Bank. Bank semakin tidak berdaya tidak mempunyai likuiditas. Juga menjadi tidak mampu membayar kewajibannya. Diawali dilikuidasi 16 bank yang menimbulkan rush. Menyusul makin banyaknya bank yang kolap dan bangkrut. Sehingga banyak bank ditutup oleh Pemerintah dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Indonesia.
Bahkan ada yang di gabung (merger) seperti empat bank pemerintah yaitu Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) menjadi Bank Mandiri. Krisis moneter telah bertransformasi menjadi krisis perbankan akibat dari banyaknya bank yang dilikuidasi, dicabut izinnya, bangkrut dan ada yang di merger.
Namun demikian, dampak krisis moneter dan perbankan telah bertransfornasi menjadi krisis ekonomi. Dampak dari banyaknya perusahaan dan bank yang merugi serta bangkrut menimbulkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak terelakan. Dilain pihak, harga harga kebutuhan pokok melambung tinggi mendorong inflasi merangkak naik terjadilah resesi ekonomi yang meluluh lantakan perekonomian rezim Orde Baru. Menciptakan semakin bertambahnya orang miskin mendorong potensi terjadinya gejolak sosial. Timbul penjarahan dan pembakaran di pusat pusat perbelanjaan. Keamanan menjadi terganggu dan mencekam menimbulkan krisis sosial. Namun orang masih bisa bebas kemana mana bekerja dan bepergian. Orang tidak mengenal istilah stay at home (tinggal dirumah), physical distancing (jaga jarak), washing hand (cuci tangan), locked down (tidak boleh keluar), pakai masker dan sebagainya.
Dengan meningkatnya kemiskinan, pengangguran akibat PHK banyak dari mereka membuka usaha kecil kecilan untuk menyambung hidupnya. Maka memberikan peluang pengusaha UMKM bermunculan. Agar tetap bisa eksis bahkan UMKM dipandang sebagai penyelamat perekenomian pada masa krisis. UMKM mulai terangkat namanya dan menjadi perhatian perbankan untuk membiayainya. Utamanya Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang telah mempunyai jaringan luas sampai kepelosok desa di Nusantara. Sehingga dikenal dan menjadi besar sebagai bank UMKM.
Kesuksesan BRI menjadi bank UMKM banyak yang ingin meniru dan menyainginya. Namun tidaklah mudah mengalahkan dan mengambil alih kepiawaiannya BRI. Dibidang pembiayaan UMKM yang sudah menjadi habitat dan keahlian para SDM nya, didukung oleh pengalamannya yang panjang dengan jaringannya yang tersebar luas.
Memang bisnis pembiayaan UMKM sangat menjanjikan benefit yang menggiurkan dengan tingkat risiko yang tersebar. Dengan demikian UMKM telah muncul sebagai penyelamat di saat krisis yang terjadi pada tahun 1997. Krisis multidimensial akhirnya berubah menjadi krisis politik dengan lengser keprabonnya Presiden Soeharto setelah 30 tahun lebih berkuasa. Sebagai tanda berakhirnya juga masa jaya rezim Orde Baru.
Apa yang terjadi sekarang ini dengan adanya krisis multidimensial wabah penyakit Covid 19 Corona yang telah berjalan satu bulan di tanah air, belum juga menunjukkan tanda tanda berhenti. Bahkan terinfo sedang terjadi peningkatan saat ini dan berharap sebagai puncaknya.
Selanjutnya dibulan Mei 2020 bisa mereda dan tuntas bersih dari musibah Covid 19 Corona. Mulai bulan Juni 2020 hendaknya sudah bisa pulih kembali perekonomian secara berangsur angsur normal. Dampak dari penyebaran krisis multidimensi wabah penyakit virus Covid 19 Corona terhadap perekonomian sangat luar biasa menciptakan keterpurukan yang serius terhadap perekonomian global.
Disinyalir perekonomian global bisa tumbuh kontraksi negatif di tahun 2020 kisaran – 1,1% s/d -3%. Hal tersebut merupakan ramalan yang mengerikan maka kita harus bersiap siap menghadapinya kata Ibu Sri Mulyani Indrawati Mentri Keuangan RI. China minus 6% dunia minus 3% merupakan shock besar. Tidak bisa menampikkan akan berpengaruh pada perekonomian Indonesia dengan base line pertumbuhan kisaran 2,3%pada tahun 2020.
Namun IMF memperkirakan bila terjadi shock besar, Indonesia bisa tumbuh negatif 5%. Sedangkan perekonomian China di triwulan I/2020 menurut Biro Statistik Nasional China terkontraksi atau pertumbuhan negatif – 6,8% year on year.
Dari pantauan yang ada, krisis perekonomian yang terjadi saat ini lebih dahsyat dan mengerikan dibandingkan krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997 kala 23 tahun silam. Krisis ekonomi di tahun 1997 UMKM keluar sebagai penyelamat ekonomi. Namun krisis ekonomi yang ditimbulkan dampak dari penyebaran virus penyakit Covid 19 Corona membuat UMKM lebih awal lunglai terkapar karena orang orang tidak bisa bebas kemana mana.
Namun masih beruntung ada belanja online didukung dengan adanya mobile banking sangat membantu agar perekonomian tidak mati total. Namun tidak terhindarkan orang orang yang terkena PHK menjadi pengangguran tidak bisa berbuat banyak untuk berkreasi mencari pekerjaan baru. Atau membuka usaha dibidang UMKM sebagaimana seperti krisis ekonomi di tahun 1997, UMKM tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Dulu masa krisis ekonomi tahun 1997, sektor UMKM menjadi penyelamat perekonomian kala itu. Namun saat krisis sekarang ini tahun 2020, UMKM benar benar terkapar memerlukan pertolongan untuk diselamatkan.
Untuk mengatasi dampak dari Covid 19 Corona, Presiden Jokowi gelontorkan Rp405,1 triliun untuk perlindungan sosial & stimulus ekonomi. Dari jumlah total tersebut telah dicadangkan sebesar Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR dan sebesar Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional (termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha).
Dengan adanya instruksi Presiden yang meminta perbankan nasional melakukan pemberian relaksasi kredit kepada para pelaku UMKM berupa penurunan bunga dan penundaan angsuram setahun. Berkaitan dengan dampak dari wabah krisis penyakit virus Covid 19 Corona yang meluluh lantakan perekonomian dunia. Tidak terhindarkan demikian juga yang menimpa perekonomian Indonesia membuat UMKM terkapar paling awal. Berbeda dengan situasi yang terjadi pada krisis ekonomi di tahun 1997. Dimana kala itu UMKM menjadi penyelamat perekonomian nasional. Namun kini menghadapi krisis ekonomi sebagai dampak virus wabah Covid 19 Corona UMKM butuh diselamatkan.
Untuk itu Presiden dalam pidatonya telah berkoordinasi dengan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar memberikan relaksasi penundaan pembayaran angsuran selama setahun dan penurunan bunga. Dengan demikian semestinya pihak OJK pada kesempatan pertama sudah semestinya siap membuat petunjuk teknis pelaksanaannya. Sehingga perbankan nasional atau lembaga keuangan non bank segera bisa mengeksekusi langkah kebijakan Presiden Jokowidodo. Untuk memberikan relaksasi penundaan pembayaran angsuran selama setahun dan penurunan suku bunga.
Sesungguhnya mengenai pemberian penundaan angsuran selama setahun dan penurunan bunga, semestinya tidak sampai Presiden turun tangan memberikan dan mengeluarkan kebijakan seperti itu. Apalagi dampak penyebaran Covid 19 Corona ini sudah ditetapkan sebagai bencana nasional. Terlebih dari itu, sebagai bankir profesional sejati dan tangguh yang berjiwa sebagai agen pembangunan sudah merupakan tindakan bank teknis yang seharusnya dilakukan. Dengan naluri bankirnya, bisa segera memberikan keringanan seperti itu.
Seperti misalnya BRI, sebagai bank UMKM yang dibesarkan dan diselamatkan keberadaannya sebagai bank terbesar perolehan labanya, bersumber dari UMKM dan membuat kapitalisasi pasarnya menjadi terbaik. Dimana sejak krisis ekonomi tahun 1997 yang sudah hampir 23 tahun berjalan, UMKM memberikan sumbangsih dan bekerja untuk BRI dengan menyumbang pendapatan BRI yang besarannya sudah tidak terhitung lagi. Sehingga dengan demikian BRI harusnya menjadi pelopor utama mengambil inisiatif melakukan pemberian relaksaksi berupa pemberian keringanan bunga dan penundaan pembayaran seperti itu tanpa harus menunggu petunjuk teknis pelaksanaan dari OJK.
Dengan demikian, disaat UMKM membutuhkan penyelamatan seperti sekarang ini. Maka perbankan khususnya BRI sebagai bank UMKM harus dengan sigap memberikan perhatian segera membantu melakukan tindakan penyelamatan kepada debetur UMKM nya.
Memang kita ketahui dan sadarinya dengan adanya dampak dari wabah virus covid 19 corona. Dengan mengingat UMKM yang paling awal terkapar maka dengan sendirinya bila tidak dilakukan tindakan penyelamatan, diperkirakan kerugian paling parah akan dihadapi oleh BRI dibandingkan bank-bank lainnya. Mengingat fortofolio fokus pembiayaan penyaluran kreditnya berada disektor UMKM.
Dengan demikian, alangkah bijaknya bila BRI segera melakukan relaksasi pinjaman kepada UMKM. Dengan langkah kebijakannya ini diyakini kedepan akan berbuah manis bagi BRI. Dimana ada pengusaha, UMKM akan selalu ingat kebaikannya dan akan tetap menjadi nasabah loyal BRI. Berkat UMKM, membuat BRI selalu berada dipuncak klasemen emiten berkapitalisasi terbesar (big cap) mendampingi BCA. Dengan kebijakan yang ditempuh para jajaran pengurus BRI memberikan relaksasi penundaan angsuran dan penurunan suku bunga maka BRI sebagai bank UMKM berharap kedepan bisa menjadi big cap nomor satu bisa menggeser BCA yang saat ini bertengger dipuncak klasemen. Mampukah BRI sebagai bank BUMN mengambil alih posisi puncak klasemen dari BCA yang merupakan bank milik swasta. Bagaimana pula dengan bank bank BUMN lainnya. (Quo Vadis Bank BUMN, OJK dan Menneg BUMN). (*)