Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
HENTIKAN perlombaan menaikkan suku bunga. Jika seluruh bank sentral di dunia berlomba menaikkan suku bunga, maka dikhawatirkan dunia akan mengalami resesi berkepanjangan. Saat ini, nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) sedang “kuat-kuatnya” terhadap seluruh mata uang asing di dunia. Itulah paling tidak yang sudah ditegaskan dalam Konferensi Pembangunan Perdagangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD), yang meminta bank-bank sentral di dunia menahan kenaikan suku bunga acuan demi menghindari resesi.
Sejumlah negara sedang terbakar inflasi dan ekonominya terancam resesi. Karena itu, adu kerek suku bunga wajib dihentikan. Tidak baik buat ekonomi yang sedang membutuhkan pertumbuhan. Jadi, pesan PBB, jangan sampai kenaikan suku bunga benar-benar minimbulkan resesi di seluruh dunia.
Hampir seluruh nilai tukar mata uang negara-negara di dunia anjlok, keok melawan dolar AS, akibat bank sentral AS (The Fed) yang mengerek suku bunganya tinggi-tinggi. Cadangan devisa negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia, pun ikut tergerus. Menurut data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa per September 2022 lalu tinggal US$130,78 miliar. Atau, kempis dari US$132,2 miliar pada Agustus 2022 lalu.
Lebih mengerikan jika dibandingkan dengan cadangan devisa pada awal 2022 (Januari), di mana cadangan devisa sempat “bertengger” di angka US$141,3 miliar. Sempat naik tipis di Februari 2022 menjadi US$141,4 miliar. Namun, sejak Februari 2022 hingga September 2022, cadangan devisa kempis terus, meski disebut masih cukup untuk menopang kebutuhan impor.
BI pun meresponsnya dengan menaikkan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 4,25% dari sebelumnya 3,75%. Atau, setelah 18 bulan dengan suku bunga sebesar 3,5%. Langkah BI ini untuk meredam gejolak inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebelum menaikkan suku bunga, BI juga menambah giro wajib minimum (GWM) bank-bank.
Itu jelas BI mengirim sinyal pengetatan likuiditas bank-bank. Waktu itu, BI masih belum mau menaikkan suku bunga acuan. Lebih memilih pengetatan likuiditas lewat GWM untuk meredam inflasi yang sejujurnya sudah mulai merangkak naik pada periode pertengahan tahun ini.
Sejalan dengan itu, saat ini, berbagai indeks ketidakpastian dan risiko perekonomian global mengalami peningkatan. Itu akibat tekanan inflasi yang membakar perekonomian dan tensi geopolitik yang tinggi, dan kekhawatiran akan terjadinya resesi.
Nah, berdasarkan survei dari Bloomberg, probabilitas resesi ekonomi tahun 2023 ke depan akan melanda negara-negara Uni Eropa (50%), sementara AS sendiri (50%) dan negara-negara lain sekitar 20%. Indonesia probabilitas resesinya hanya 3%. Artinya Indonesia relatif akan baik-baik saja.
Namun demikian, paling tidak harus dibuat skenario sekaligus sejumlah langkah agar Indonesia, juga bank-bank, tidak terperosok ke dalam lembah krisis. Satu, jika ekonomi sedang mengalami pemulihan, inflasi terus mendaki dan kualitas pinjaman memburuk. Dua, ekonomi stagnan, inflasi terus merayap naik dan kualitas kredit memburuk. Tiga, ekonomi pulih, inflasi terkendali dan kualitas pinjaman bank membaik. Empat, ekonomi tetap stagnan, inflasi terkendali dan kualitas pinjaman membaik.
Untuk itu, bank-bank harus memperhatikan empat skenario itu. Nah, jika melihat kebijakan restrukturisasi kredit bank yang akan diperpanjang, maka kemungkinan terbesar adalah pada skenario ketiga dan paling buruk pada kemungkinan keempat. Skenario pertama dan kedua bisa jadi akan sulit terjadi, kecuali jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak memperpanjang program restrukturisasi.
Ketakutan akan stagflasi harusnya tidak terjadi. Stagflasi adalah apabila suatu negara mengalami inflasi tinggi dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Tiga negara yang pernah mengalami stagflasi parah yaitu AS, Inggris, dan Australia. Ketakutan akan stagflasi memang masuk akal, karena inflasi tinggi bisa juga membuat ekonomi tertekan, dan pada akhirnya akan menimbulkan gejolak sosial, politik, dan keamanan. Rawan menjelang Pemilu 2024.
Instrumen suku bunga bisa meredam inflasi karena akan mengurangi jumlah uang beredar. Jika ini dilakukan, maka ekonomi dibiarkan berhenti dan pada akhirnya inflasi akan turun. Apalagi suku bunga tinggi juga akan menghambat pertumbuhan kredit. Ada benarnya juga PBB mengimbau bank-bank sentral di dunia menghentikan perlombaan mengerek suku bunga acuan.
Dalam perspektif ke depan, paling tidak segala kebijakan harus diarahkan untuk mendorong pertumbuhan kredit. Kebijakan kenaikan suku bunga tinggi sudah waktunya direm. Untuk itu, pembuat kebijakan harus fokus mendorong bank-bank untuk tetap menyalurkan kredit. Pengucuran kredit akan menciptakan lapangan pekerjaan dan pada akhirnya juga permintaan terhadap kredit.
Pengendalian inflasi memang perlu, tapi mendorong pertumbuhan kredit juga sangat perlu. Jangan sampai bank-bank berhenti menyalurkan kredit hanya karena risiko suku bunga naik. Bank-bank perlu stimulus untuk terus menyalurkan kredit agar ekonomi tetap tumbuh. Sektor riil juga perlu diberi kemudahan untuk menjalankan usaha agar tercipta permintaan terhadap kredit.
Stagflasi tidak akan terjadi jika bank-bank masih kencing kredit. Indonesia jauh dari resesi. Selain ekonomi Indonesia tidak berkorelasi ketat dengan ekonomi global, Indonesia juga selalu mendapat berkah dari kenaikan harga komoditas. Jadi, doronglah bank-bank untuk tetap memberikan kredit – yang sekarang saja pertumbuhan kredit sudah double digit.
Bank-bank jangan “direcoki” dengan banyak aturan yang membuat dirinya sulit mengucurkan kredit. Kita dorong bank-bank tetap “kencing” kredit dan itu bisa selama masa pandemi COVID-19 di dua tahun terakhir ini. Tapi, pengucuran kredit tetap harus selektif, tidak obral kredit. Tentunya dengan memperhatikan kompetensi masing-masing bank. (*)