Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
PADA Oktober nanti, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan lengser dengan meninggalkan “utang janji” pertumbuhan ekonomi 7 persen. Sebab, pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun dari 2014-2023 rata-rata hanya 4,11 persen per tahun. Janji Jokowi melakukan revolusi mental birokrasi pun hanya sebatas “omon-omon”.
Ekosistem birokrasi dan dunia usaha justru makin sarat korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, jumlah tindak pidana korupsi dari 2014 sampai 2023 mencapai 1.512, dengan peringkat kasus paling banyak yaitu 601 di pemerintah kabupaten kota, 474 di kementerian/lembaga,196 di pemerintah provinsi, 143 di BUMN dan BUMD, dan 76 di DPR. Terakhir, kasus korupsi tambang Timah senilai Rp271 triliun dan Kejaksaan Agung telah menetapkan 22 tersangka.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi, Jokowi sudah mengerahkan berbagai sumber daya negara, salah satu badan usaha milik negara (BUMN) yang digiring menjadi agen pembangunan. Selama 10 tahun terakhir, BUMN yang dihujani intervensi politik dan birokrasi membuat para pemimpin di perusahaan BUMN sulit bekerja secara independen dan berorientasi kepada hasil. Mereka terikat oleh dengan keinginan-keinginan pemerintah.
Baca juga: Ini Dia 5 Sektor Penyumbang Dividen Jumbo
Key performance indicator pengurus BUMN tidak lagi hanya kinerja keuangan tapi lebih karena relasi politik. Contohnya Sigit Winarto yang memimpin Istaka Karya pada 2017-2022. Kendati dianggap gagal karena Istaka Karya di bawah kepemimpinannya kemudian pailit, tapi dia mendapatkan kursi di perusahaan pelat merah lain yaitu di Jakarta Industrial Estate Pulogadung.
Karena BUMN dijadikan wadah untuk menempatkan orang-orang di lingkaran penguasa, maka jangan heran jika kinerja BUMN biasa-biasa saja. Setelah mencatat rekor laba tertinggi sebesar Rp348,74 triliun pada 2022, lalu merosot lagi menjadi Rp313,59 triliun pada 2023. Yang lebih menyedihkan, BUMN terus bersandar kepada keuangan negara melalui suntik penanaman modal negara (PMN) dengan jumlah yang besar.
Menurut data Kementerian Keuangan, selama periode 2019 sampai 2023 atau selama Kementerian BUMN dipimpin Erick Thohir, total PMN yang diguyur negara mencapai Rp263,79 triliun. Sementara dividen yang diterima dari BUMN pada periode tersebut sebesar Rp279,70 triliun. Setelah dikurang PMN, maka dividen bersih yang dikantongi negara hanya Rp15,91 triliun.
Jika menghitung selama 10 tahun dari 2014-2023, total PMN yang disuntikkan ke BUMN mencapai Rp401,37 triliun. Sedangkan dividen yang diterima negara dari BUMN secara akumulatif sebesar Rp452,43 triliun. Setelah dikurangi PMN, maka selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, negara hanya mendapatkan dividen bersih sebesar Rp51,06 triliun. Itu kontribusi dividen bersih dari 159 perusahaan BUMN yang keuangannya penuh dengan “lumpur politik” selama 10 tahun.
Baca juga: BCA Kasih Bocoran Dividen Tahun Buku 2024, Bakal Lebih Besar?
Coba bandingkan dividen dari satu perusahaan swasta seperti Bank Central Asia (BCA) miliki Grup Djarum. Pada periode yang sama atau 2014-2023, akumulasi laba BCA sebesar Rp280,92 triliun. Sedangkan deviden yang dibagian BCA selama 10 tahun itu sebesar Rp129,94 triliun. Meskipun porsi kepemilikan sahamnya hanya 55 persen, Djarum bisa mengantongi dividen sebesar Rp71,46 triliun. Lebih besar dari dividen bersih yang diterima negara dari 159 perusahaan BUMN.
Mengapa perusahaan BUMN kalah efisien dan profitable dibanding perusahaan swasta? Mengapa BUMN terus bersandar kepada keuangan negara melalui suntik penanaman modal negara? Seperti apa kinerja 159 perusahaan pelat merah menurut hasil Rating BUMN versi The Asian Post 2024 di Majalah Infobank Nomor 557 September 2024?