KPK dan Istana Soroti Korupsi di Sektor Pertanian
Jakarta — Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak memiliki legal standing untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK). Hal tersebut disampaikan dua saksi ahli dalam PK kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
Dua saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang PK tersebut, yakni Hamdan Zoelva, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan Ahli Hukum Acara Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr Chairul Huda, SH, MH.
“Sesuai putusan MK nomor 133 intinya sesuai Pasal 263 ayat 1 yang boleh mengajukan PK adalah terpidana dan ahli warisnya,” tukas Hamdan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Jum’at (14/2/2020).
Hamdan menguraikan, dalam putusan MK Nomor: 133/PUU-XIV/2016 telah memberikan penafsiran konstitusional atas ketentuan Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sehingga sudah jelas dalam putusan itu bahwa subjek yang berwenang mengajukan PK bukanlah jaksa KPK.
“Maka MK menegaskan bahwa pasal itu konstitusional. Manakala pasal dimaknai lain dari yang secara eksplisit dicantumkan di pasal 263 itu inkonstitutional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” imbuh Hamdan.
Dia menegaskan, putusan MK itu sejalan dengan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 04/BUA.6/HS/SP/III/2014 tanggal 28 Maret 2014 yang ditujukan keada Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama di Seluruh Indonesia.
“(SEMA,-red) Ini sejalan dengan putusan MK. Artinya ketika keluar SEMA masih ada yang mengajukan PK sehingga mengacu pada MK. MK akhirnya memberikan kepastian jaksa tidak boleh mengajukan PK sesuai ketentuan SEMA,” ucapnya.
Setali tiga uang, Chairul Huda berpendapat putusan MK sudah tepat. “Menegaskan norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP itu konstitusional sepanjang ditafsirkan seperti apa yang ada dalam norma sendiri. Jadi tidak boleh ditafsirkan lain,” tegasnya.
KPK dalam hal kni sebagai penegak hukum bisa melakukan upaya hukum luar biasa lewat kasasi demi kepentingan hukum. Adapun skema PK didesain hanya untuk terpidana mengoreksi putusan kasasi
“Lihat surat keputusan Mahkamah Agung No 268 tahun 2019, masih hangat hangat kuku, jelas di situ salah satu putusannya, perkara yang tidak dapat dibenarkan adalah ketika perkara PK diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum,” tutur Chairul.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
Dalam permohonannya, JPU Haeruddin menjelaskan bahwa PK diajukan untuk mengoreksi putusan yang keliru terhadap perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Adapun dalam putusan kasasinya, MA memutuskan SAT tidak melakukan tindak pidana pada 9 Juli 2019, sehingga harus dibebaskan. Putusan itu diketuk oleh Salman Luthan selaku hakim ketua dan Syamsul Rakan Chaniago serta M Askin sebagai hakim anggota. Syafruddin dinyatakan bebas, lepas dari tuntutan hukum. (*)
Poin Penting Sebanyak 36 dari 38 provinsi telah menetapkan UMP 2026, sesuai PP 49/2025 yang… Read More
Poin Penting Pemerintah memastikan formulasi UMP 2026 telah memasukkan indikator ekonomi seperti inflasi, indeks alfa,… Read More
Poin Penting Modal asing masuk Rp3,98 triliun pada 22–23 Desember 2025, dengan beli bersih di… Read More
Poin Penting Menurut Asuransi Jasindo mobilitas tinggi memicu potensi kecelakaan dan kejahatan, sehingga perlindungan risiko… Read More
Poin Penting Pemerintah menyelamatkan lebih dari Rp6,6 triliun keuangan negara, sebagai langkah awal komitmen Presiden… Read More
Poin Penting Bank Mandiri menerapkan perlakuan khusus kredit bagi debitur terdampak bencana di Aceh, Sumut,… Read More