Jakarta — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menilai persoalan yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tidak akan menjadi besar bila pemerintah cepat mengambil sikap. Utamanya dalam Pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon menilai Pemerintah dan regulator telah menugaskan orang-orang kompeten untuk menyelesaikan persoalan Jiwasraya. Namun demikian, sebagai wadah dari para pelaku industri asuransi jiwa, AAJI melihat perlu dilakukan upaya kongkrit.
“Yang saya ingin bilang begini sebetulnya kan duduk perkaranya sangat jelas. Bahwa kita terapkan saja Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian,” tukas Budi dalam diskusi dengan media di Jakarta, Rabu malam (22/1/2020).
Dalam kaitannya dengan penerapan UU Nomor 40 Tahun 2014 tersebut, ada dua hal yang bisa dijadikan acuan untuk menyelesaikan persoalan Jiwasraya secara khusus, pun untuk keseluruhan perusahaan asuransi lainnya secara umum.
“Yang pertama adalah terkait dengan pengendali perusahaan perasuransian dalam hal ini pemegang saham, salah satunya melihat bahwa hitam di atas putih dalam Undang-undang Nomor 40 dikatakan bahwa pengendali bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi atau disebabkan oleh pihak yang dalam kendalinya. Seumpamanya ada PT ABC Life yang murni swasta, hari ini defisit Rp500 miliar kan pemegang sahamnya wajib (suntik modal),” tutur Budi.
“Yang kedua adalah, ada pasal yang lainnya mengatakan dalam UU Nomor 40 tahun 2014, bahwa 3 tahun setelah undang-undang perasuransian Nomor 40 sudah diperundangkan harus ada LPPP-nya (Lembaga Penjamin Pemegang Polis). Seumpamanya dua hal ini diterapkan dari sekian waktu yang lalu, kan kita nggak duduk di sini malam ini (membahas persoalan Jiwasraya),” imbuhnya.
Lewat penambahan modal dari pemilik atau pemegang saham, maka komitmen untuk penyelesaian persoalan gagal bayar oleh perusahaan asuransi diyakini bisa teratasi. Pun bila industri asuransi di Indonesia sudah memiliki LPPP, yang notabene bakal berfungsi sebagai lembaga penjamin dana dari para pemegang polis, bilamana perusahaan asuransi yang bersangkutan mengalami gagal bayar. Atau untuk memudahkan, berfungsi seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menjamin dana nasabah perbankan sesuai dengan syarat dalam perundangan.
Sebagaimana diketahui, perusahaan asuransi pelat merah Jiwasraya mengalami gagal bayar produk JS Saving Plan yang jatuh tempo pada Oktober-Desember 2019 senilai Rp12,4 triliun. Dalam investasinya kemudian, diketahui bahwa salah satu perusahaan asuransi tertua di Tanah Air ini cukup banyak menempatkan aset di saham-saham “gorengan” atau bukan blue chip seperti yang dianjurkan.
Sementara terkait dengan produk saving plan yang ditawarkan perusahaan asuransi jiwa, AAJI menilai tidak ada masalah selama pengelolaannya dilakukan sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan tidak terjadi mismatch dalam melakukan investasi. “Ada yang salah dengan produk ini? Jawabannya tidak,” ucap Budi.
“Kalau kita cermati (yang terjadi di Jiwasraya) ada kemungkinkan terjadi asset liabilities mismatch. Bagaimana janji yang pasti 8-9 persen (yield) berapapun itu, tapi sebagian dana nasabah itu diinvestasikan bukan pada aset yang pasti. Seharusnya yang paling pas adalah, janji pasti investasi fixed income. Tapi Kita lihat (apa yang dilakukan Jiwasraya) ada yang diinvestasikan dalam bentuk saham,” tandas Budi lagi. (*)