DPR Sebut Keuangan Syariah Belum Bisa jadi Solusi Pertumbuhan Ekonomi RI

DPR Sebut Keuangan Syariah Belum Bisa jadi Solusi Pertumbuhan Ekonomi RI

Jakarta – Industri keuangan dan perbankan syariah belum bisa menjadi solusi dari perkembangan ekonomi nasional. Hal itu diutarakan Fathan Subchi, Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam seminar nasional yang diselenggarakan Infobank bertajuk ‘Boosting Up Sustainable Through ESG dan GRC – Babak Baru Spin-Off UUS’, di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Rabu, 27 September 2023.

Fathan mengungkapkan, salah satu contohnya terlihat dari jumlah penyelenggara fintech lending di Indonesia. Dari total 102 penyelenggara fintech lending yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hanya ada tujuh penyelenggara fintech syariah dan pasarnya sangat kecil.

Padahal, pertumbuhan fintech dalam setahun itu mencapai sekitar Rp52 triliun sampai Rp53 triliun. Sementara, akumulasi penyaluran pinjaman fintech lending sejak berdiri sampai sekarang mencapai lebih dari Rp600 triliun.

Baca juga: Rating 154 Institusi Keuangan Syariah 2023: Setelah Beleid Spin Off Terselip Kata ‘Dan/Atau’

“Industri keuangan dan perbankan syariah masih banyak kendala, evaluasi dan regulasi yang harus dipikirkan negara, harus disiapkan DPR, dan harus bekerja sama dengan pemerintah, OJK, Bank Indonesia (BI) untuk memberikan ruang yang kondusif bagi syariah dan lebih kontributif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Kami sebagai legislator dan pengawas OJK memberikan hal-hal yang wajib dicermati dan menjadi evaluasi bersama,” ujarnya.

Fathan menambahkan, isu tentang Unit Usaha Syariah (UUS) sangat menarik saat ini. Seperti diketahui, kebijakan pemisahan UUS dan konsolidasi perbankan syariah sesuai dengan UU P2SK (UU Nomor 4 Tahun 2023) yang diturunkan menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2023, telah resmi disahkan. Namun, proses pembuatan POJK ini agak berbeda dari pembuatan POJK sebelum adanya UU P2SK. Sebelumnya hanya OJK sendiri, tapi sekarang perlu konsultasi dengan DPR.

Lebih lanjut, dalam Bab V POJK Nomor 12 Tahun 2023 tentang pemisahan dan konsolidasi UUS terkait dengan kewajiban spin off dari induknya, bank umum konvensional (BUK). Pasal 59 tertulis, “BUK yang memiliki UUS dengan nilai aset UUS telah mencapai 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset BUK induknya dan/atau jumah aset UUS paling sedikit Rp50 triliun wajib melakukan pemisahan UUS dengan tahapan tertentu”. Hal ini berbeda dari napas UU P2SK Tahun 2023 yang tidak menyebut aset Rp50 triliun.

Selain itu, terdapat penambahan kata “dan/atau” dalam POJK tersebut. Padahal, di OJK sendiri jika dilihat dari dokumen konsultasi tidak ada tambahan kata “dan/atau”. Dengan ada tambahan kata “dan/atau”, pengertiannya jadi berbeda.

Menurut data Biro Riset Infobank (birI), jika tanpa kata “dan/atau” dalam POJK, dari 20 UUS belum ada yang menyentuh angka 50%. Paling tinggi di angka 28,16% yang dicapai oleh Maybank Indonesia, disusul CIMB Niaga sebesar 20,44% dan Bank Sinar Mas 14,38%.

Namun, jika dimasukkan kata “dan/atau”, maka yang wajib spin off adalah CIMB Niaga karena asetnya sudah menembus di atas Rp50 triliun. Per Juni 2023, aset UUS CIMB Niaga mencapai Rp66,15 triliun, atau naik tipis jika dibandingkan dengan akhir 2022 yang mencapai Rp62,96 triliun.

Baca juga: Wapres: Inovasi Produk Keuangan Syariah Harus Dibarengi Dengan Peningkatan Literasi

Harusnya POJK ini mendorong pertumbuhan syariah, namun tampaknya efeknya akan memperlambat laju syariah karena ada mandatory untuk pisah setelah masuk angka Rp50 triliun.

Sementara, menurut Direktur Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank CIMB Niaga, Pandji P. Djajanegara, tindakan spin off UUS menjadi bank umum syariah (BUS) yang diwajibkan dalam POJK itu bukanlah solusi bagi industri perbankan syariah nasional. Pandji pun memberikan pendapat agar POJK Nomor 12 Tahun 2023 bisa di-review kembali sehingga berisi keberpihakan pada perbankan syariah. (*) Ayu Utami

Related Posts

News Update

Top News