DPR: Perusahaan Pengambil Air Tanpa Izin Harus Diproses Hukum

DPR: Perusahaan Pengambil Air Tanpa Izin Harus Diproses Hukum

Jakarta – Komisi I DPR-RI meminta pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bertindak tegas kepada perusahaan yang selama ini mengambil mata air untuk kepentingan komersial. Pasalnya, tindakan tersebut tidak saja berpotensi merugikan keuangan negara namun juga merugikan masyarakat. Untuk itu, dirinya mendesak regulator terkait untuk bisa memproses secara hukum.

Demikian disampaikan Anggota Komisi I DPR-RI Mayjen (Purn) TB Hasanuddin saat melakukan peninjauan di Kecamatan Cimanggung di Kabupaten Sumedang dan Kecamatan Cikancung di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Saat melakukan kegiatan tersebut, dirinya mendapatkan laporan dari masyarakat atas adanya dugaan pengambilan air tanpa izin atau ilegal yang dilakukan oleh sebuah PT di dua titik.

“Informasi ada dua titik lagi yang belum dapat izin sama sekali. Laporan ini dari masyarakat dan saya yakinkan ini dari pak camatnya, nanti saya kirim namanya dan daerahnya. Saya meminta diadakan proses hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seperti apa, kita serahkan kepada aparat hukum,” ujar TB Hasanuddin seperti dikutip di Jakarta.

Ia mengungkapkan, hasil pertemuan dengan masyarakat melaporkan adanya pengambilan mata air yang diduga tidak memiliki izin oleh PT DFT. Lokasi pertama adalah mata air di Cigalumpit Nagrog, Desa Pasirnanjung, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang. Lokasi kedua, mata air Ciburial, Desa Hegarmanah, Kabupaten Bandung.

Hasil laporan sementara, kata dia, terdapat beberapa titik dari PT DFT yang memiliki izin. Hanya saja, izin tersebut diduga tidak sesuai ketentuan yakni digunakan untuk kepentingan tertentu dan pengambilannya melebihi kapasitas. “Tentu saya mohon tidak hanya sekedar diselesaikan oleh Satpol PP, ini harus penegakan hukum karena melanggar ketentuan hukum yang berlaku,” katanya.

Ia menjelaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang Sumber Daya Air, bahwa air harus dimanfaatkan untuk negara dan untuk rakyat. Jangan sampai ada yang dirugikan akibat kegiatan ilegal itu. Menurutnya, kegiatan pengambilan air itu harus ada izin lingkungan, izin desa, pemerintah daerah, kemudian dari BBWS, dan Kementerian PUPR. Selain itu, harus jelas peruntukannya.

Selama ini, jelas dia, kegiatan pengambilan air di daerah tersebut diduga untuk dijual ke beberapa perusahaan. Dan diprediksi, nilai dari hasil penjualannya itu mencapai Rp20 miliar per tahun.

“Saya dapat informasi dari pak camat (beroperasi) mulai 2014, jadi hampir delapan tahun. Dan selama delapan tahun itu, debit air kita sudah semakin berkurang. Kalau di hitung hampir Rp200 miliar, enggak  tahu saya rakyat kebagian apa. Saya mohon kepada aparat kepolisian, aparat kejaksaan untuk segera turun melakukan investigasi,” paparnya.

Dan tak kalah penting, lanjut TB Hasanuddin, bahwa angka Rp200 miliar selama delapan tahun tersebut, diduga merupakan potensi kerugian negara. Untuk itu, dia berharap, pemda maupun pusat harus bertindak tegas. Karena dalam setiap pemanfaatan air harus ada pajaknya. Dan dari pajak itu digunakan untuk pembangunan daerah. Jangan sampai tidak memberikan manfaat bagi negara.

Selain itu, ia meminta pemerintah untuk aktif turun ke lapangan dan mengawal setiap potensi sumber daya air agar pemanfaatannya dirasakan oleh masyarakat banyak. Tidak boleh ada pihak yang memanfaatkan air seenaknya untuk mendapatkan keuntungan.

“Harus ada ketegasan dalam mengawal sumber daya air untuk kepentingan rakyat. Pemerintah juga harus turun mengawasi daerahnya. Orang tidak bisa seenaknya saja menggunakan sumber air. Harus untuk kepentingan rakyat dan dimanfaatkan sebaik-baiknya,” kata Anggota DPR RI Daerah Pemilihan Sumedang, Majalengka dan Subang itu. (*)

Related Posts

News Update

Top News