Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu. Foto : DPR
Poin Penting
Jakarta – Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu, merespons pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan APBN untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh).
Ia menilai, penolakan tersebut perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni adanya dugaan pembengkakan biaya yang perlu dikaji secara serius.
“Kalau menurut saya, memang seharusnya dikaji ulang bagaimana bisa terjadi pembengkakan biaya untuk kereta cepat itu,” ujar politisi Fraksi PDI-Perjuangan, dinukil laman DPR, Selasa, 21 Oktober 2025.
Ia menekankan, proyek serupa tidak hanya dibangun di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain dengan teknologi yang berbeda, seperti produksi dari Cina maupun Jepang.
“Dibandingkan saja harganya, lalu diperiksa kenapa kita bisa lebih mahal. Bagaimana perjanjian awalnya, siapa yang melakukan negosiasi, dan sebagainya,” jelasnya.
Baca juga: New Hope! Menteri Keuangan Baru, Purbaya Yudhi Sadewa
Legislator Dapil Jawa Barat V ini menekankan, sikap Menteri Keuangan menolak pembayaran utang proyek menggunakan APBN tentu memiliki alasan tersendiri.
Namun demikian, Adian menilai hal itu tidak menghapus kewajiban pemerintah untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap manajemen proyek tersebut.
Terkait wacana perpanjangan rute Kereta Cepat hingga Jakarta-Surabaya, Adian mengungkapkan ide tersebut baik, namun harus diimbangi dengan perencanaan dan pelaksanaan yang matang.
“Gagasan kereta cepat itu bagus. Problemnya, yang bagus tidak cuma di gagasan saja. Tapi bagaimana cara merealisasikannya juga harus bagus,” tegasnya.
Baca juga: Purbaya: Konsumsi Rumah Tangga Kuartal IV 2025 Bisa Tembus di Atas 5,5 Persen
Lebih lanjut, dirinya menyoroti bahwa hampir setiap proyek besar di Indonesia kerap mengalami pembengkakan biaya. Ia pun menegaskan bahwa jika proyek ini pada akhirnya menggunakan APBN, maka pemerintah harus menjelaskan evaluasi yang telah dilakukan.
“Kalau sampai menggunakan APBN, berarti ini kan mengkhianati janji awal. Maka yang harus dipikirkan, siapa yang melakukan negosiasi, berapa harga yang patut, dan apakah perjanjian itu dibuat dengan niat baik,” ujarnya.
Menurut Adian, penilaian terhadap niat baik dapat dilihat dari kepatutan harga dalam kontrak proyek. Jika terbukti perjanjian tidak dibuat dengan dasar niat baik, maka pemerintah dapat meninjau ulang atau menegosiasikan kembali perjanjian tersebut.
“Kalau bisa dibuktikan perjanjian itu tidak dilakukan berdasarkan niat baik, ya bisa diminta dibatalkan atau dinegosiasikan ulang. Tapi problemnya adalah kok biayanya bisa gede banget,” pungkasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More