Jakarta – Pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyebutkan, bahwa kondisi perbankan Indonesia masih cukup kuat meski nilai tukar rupiah menembus level Rp20.000 per dolar AS, diprediksi bakal memberikan sentimen negatif di pasar keuangan. Jika laju rupiah benar-benar menyentuh Rp20.000 per dolar AS maka dikhawatirkan akan memicu peningkatan kredit bermasalah (NPL) Bank.
Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (Infef) Bhima Yudistira mengatakan, kendati OJK telah melakukan stress test terhadap perbankan dengan mengacu pada tingkat permodalan (capital adequacy ratio/CAR) bank yang masih berada diatas 22 persen, namun secara langsung merosotnya nilai tukar rupiah juga akan berdampak ke penyaluran kredit bank.
Efek terberat adalah kondisi debitur yang tidak hanya tertekan merosotnya rupiah secara langsung. Namun, permintaan akan barang juga akan merosot karena harga-harga juga akan meningkat. Kelesuan permintaan akan meningkat akibat merosotnya nilai tukar rupiah. Rupiah yang anjlok tentu menurunkan permintaan akan barang karena semua harga barang impor mengacu pada dolar AS.
Contoh paling sederhana, harga mobil dan motor serta handphone dan tentu barang-barang impor lainnya. Efeknya, pembiayaan konsumen juga akan tertekan yang pada akhirnya bank juga akan terkena imbasnya lantaran selama ini pembiayaan berasal dari bank. Selain itu, debitur di industri pengolahan pun akan terkena dampak dari nilai tukar rupiah yang terus tertekan.
Baca juga: BRI: Pelemahan Rupiah Berdampak ke NPL Bank
“Kalau benar rupiah melemah hingga Rp20.000 saya sanksi apakah sistem perbankan masih kua? Debitur terutama industri pengolahan akan bleeding nyaris bangkrut karena besarnya ketergantungan bahan baku dan barang modal impor pasti naikkan biaya produksi,” ujarnya kepada Infobank di Jakarta, Rabu, 2 Mei 2018.
Posisi credit at risk perbankan yang masih 11 persen tentu akan menjadi soal yang serius. Tekanan terhadap kondisi debitur akan membuat ledakan pada kredit macet yang tentu membutuhkan penanganan dengan penambahan modal. Kredit kualitas rendah akan meningkat karena melihat posisi credit at risk masih tinggi. Bahkan, swasta yang memiliki utang luar negeri juga terancam gagal bayar, jika nilai tukar rupiah melemah hingga ke level Rp20.000 per dolar AS.
Dia menyebutkan, NPL perbankan diprediksi bakal menyentuh angka 6 persen atau diatas ketentuan regulator yang ditetapkan maksimal 5 persen. “Jadi saya sarankan OJK lihatnya jangan cuma kesehatan perbankan saja tapi lihat secara makro keseluruhan,” tegasnya.
Statemen OJK yang dianggap berbahaya ini, kata dia, bisa mengarahkan sentimen pasar terhadap dolar AS ke level Rp20.000. Hal Ini pernah dialami saat lembaga rating utang Standard and Poor (S&P) yang berstatement bahwa asumsi rupiah bisa menembus Rp15.000 per dolar AS. Investor kemudian melakukan antisipasi dengan memborong dolar dan jual rupiah sebelum harga nya mencapai 15.000 per dolar AS.
“Meskipun itu hanya stress test atau uji ketahanan sistem perbankan namun dampak psikologisnya mempengaruhi prilaku masyarakat, pengusaha dan spekulan,” ucapnya.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyebutkan, stabilitas sistem keuangan yang masih baik dapat dilihat dari rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan yang berada di atas 22,67 persen. Dengan tingkat permodalan tersebut, kata dia, perbankan nasional dinilai masih dapat bertahan dengan kondisi stress test apapun.
“Kalau terjadi suku bunga naik, nilai tukar merosot tajam baru kita simulasikan stress test, kalau kita simulasi kalau dollar capai Rp20.000 tetap gak bermasalah,” kata Wimboh.
Dengan kata lain, lanjut dia, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang belakangan hampir menyentuh level Rp14.000 per dolar AS, diyakini tidak akan berdampak signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan nasional, terutama terhadap industri perbankan. Kendati begitu, pihaknya akan terus melakukan pengawasan dan mengamati rasio kredit bermasalah perbankan guna menjaga stabilitas keuangan nasional. (*)