Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) menilai, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) telah memicu kerawanan terjadinya krisis ekonomi akibat besarnya jumlah impor komoditas pangan utama. Impor yang tinggi tersebut, tentu bakal meningkatkan defisit transaksi berjalan.
Anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo Soekartono, di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa, 4 September 2018 mengungkapkan, kurs rupiah yang saat ini hampir mendekati level Rp15.000 per dolar AS sudah menciptakan kekhawatiran dan keprihatinan bagi perekonomian Indonesia.
“Sekarang rupiah sudah mendekati 15.000 per dolar AS. Tetapi, ini selalu dikatakan presiden (Joko Widodo) di hadapan rakyat, bahwa hal ini adalah kondisi yang tidak perlu dikhawatirkan,” ujarnya.
Sejauh ini, kata dia, perekonomian Indonesia dihadapkan dengan besarnya impor komoditas pangan utama, seperti beras, jagung, gula dan susu. “Perlu diketahui, pelemahan rupiah ini tentu sangat memperihatinkan, karena begitu banyak komoditas pangan diimpor,” tukasnya.
Namun, jelas dia, Presiden Jokowi selalu mengatakan bahwa kurs dolar AS menguat terhadap sebagian besar mata uang dunia, bukan hanya terhadap rupiah. “Tetapi, kondisi yang dialami Indonesia merupakan yang terparah. Contohnya di 2012 per dolar AS sebesar Rp9.500 dan pada 2018 sudah mencapai Rp14.852,” kata Bambang.
Sehingga, tambah dia, posisi nilai tukar rupiah tersebut sudah sangat rawan, karena hampir semua komoditas impor membutuhkan dolar AS. “Ini tidak bisa dibiarkan. Tolong Bu Menteri Keuangan , sampaikan ke Presiden. Ini sangat mengkhawatirkan dan sangat memberatkan masyarakat,” tegasnya.
Lebih lanjut dia menyatakan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diharapkan dapat mendorong kementerian terkait untuk mengurangi impor komoditas pangan. “Impor pangan harus mulai dikurangi, bukan malah ditambah. Semoga ini bisa memperbaiki kinerja keuangan kita,” tutupnya. (*)