Diterjang KUR dan Fintech, Bagaimana BPR Bertahan?

Diterjang KUR dan Fintech, Bagaimana BPR Bertahan?

Oleh Karnoto Mohamad

Jakarta – BANK perkreditan rakyat (BPR) sedang berada di persimpangan jalan. Jika para pemilik dan pengurus BPR memilih satu pilihan untuk terus maju, kemampuan banknya untuk berkompetisi harus ditingkatkan. Sebab, kondisi bisnis lembaga perantara keuangan (financial intermediary) tengah berubah.

Empat tahun lalu kecepatan dan fleksibilitas yang menjadi keunggulan BPR tak ada yang mampu menyaingi. Kalaupun ada rentenir atau lintah darat yang bergerak lebih cepat, BPR dengan mudah mampu menaklukkannya. Namun, sejak dua tahun terakhir, muncul “spesies” baru bernama financial technology (fintech) yang kecepatannya bisa melibas BPR.

Karena kecepatannya, 36 fintech lending yang baru berumur sekitar dua tahun mampu membukukan pinjaman hampir Rp3 triliun atau rata-rata Rp83,30 miliar. Bandingkan dengan kucuran kredit 1.619 BPR yang tahun lalu naik 9,55% atau bertambah Rp7,80 triliun menjadi Rp89,48 triliun.

Apabila dirata-ratakan, setiap BPR hanya menambah kucuran kredit baru sebesar Rp4,82 miliar sepanjang 2017. Itu pun tertolong oleh dua BPR terbesar yang masih mencetak pertumbuhan di atas 10% tahun lalu. Keduanya adalah BPR Eka Bumi Artha yang asetnya di atas Rp7,60 triliun dan BPR Sri Artha Lestari yang memiliki kekayaan di atas Rp4,35 triliun. Ratusan BPR menderita penurunan kredit, termasuk BPR terbesar ketiga, yaitu BPR Karyajatnika Sadaya. Menurut Biro Riset Infobank (birI), dari 1.000 BPR yang menguasai 95% pangsa aset BPR, 275 di antaranya mencatatkan penurunan kredit.

Jika para bankir BPR masih percaya diri dengan kehadiran fintech lending yang dianggap bermain di segmen pasar yang berbeda, mereka tak bisa memungkiri imbas terjangan langsung dari ekspansi Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang suku bunganya disubsidi pemerintah. Pasar kredit BPR yang suku bunganya rata-rata 25%, dihajar oleh kucuran KUR yang tahun lalu suku bunganya hanya 8%.

Jangankan BPR, bank-bank umum pun digerogoti “kanibalisme” karena banyak debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)-nya dengan suku bunga komersial pindah ke kredit program yang suku bunganya lebih murah. Tahun lalu realisasi kucuran KUR mencapai Rp96,71 triliun atau 14 kali lebih besar daripada tambahan outstanding kredit BPR yang sebesar Rp7,80 triliun. Dan, karena KUR, kredit UMKM bank umum tahun lalu anjlok 1,68% menjadi Rp863,26 triliun.

Terjangan KUR akan makin terasa setelah pemerintah menurunkan suku bunga KUR menjadi 7% tahun ini. Tantangan kompetisi yang tak seimbang menambah pekerjaan makin berat bagi BPR yang juga sudah terbebani rambu-rambu yang makin ketat dan harus dipenuhi, salah satunya harus memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) serta melaporkan laporan keuangannya per kuartal kepada publik.

Di tengah pertarungan yang tak seimbang di pasar, pemilik dan pengurus BPR pun dihantui sanksi-sanksi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika tidak memenuhi ketentuan yang ada. Dari mulai sanksi denda, penurunan tingkat kesehatan bank, hingga direksi atau pengurus dianggap tidak lulus fit and proper test. Bahkan, pada batas tertentu sanksi pencabutan izin usaha bisa dijatuhkan, seperti dialami BPR Bina Dian Citra, awal April lalu.

Biro Riset Infobank (birI) mencatat, per September 2017 BPR Bina Dian Citra masih mencatatkan KPMM atau capital adequacy ratio (CAR) 11,54%, tapi kemudian tergerus seiring dengan anjloknya aset produktif yang digerogoti kredit bermasalah. Awal Januari lalu OJK memasukkan BPR yang berlokasi di Bekasi ini ke dalam pengawasan khusus karena rasio KPMM-nya kurang dari 0%. Namun, pemegang saham memilih mengibarkan bendera putih karena tak sanggup menambah modal.

BPR Bina Dian Citra adalah BPR ke-85 yang izinnya dicabut sejak Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdiri pada 2005. Setiap tahun rata-rata ada delapan BPR yang dicabut izinnya, dan sepanjang 2017 ada sembilan BPR yang izinnya dicabut. Namun, Biro Riset Infobank mencatat, kegagalan BPR hingga dicabut izinnya bukan karena kalah berkompetisi, melainkan karena faktor mismanagement dan tidak adanya penerapan good corporate governance (GCG). Karena selama ini tata kelola menjadi faktor pembunuh BPR, maka wajar bila rambu-rambu pengelolaan BPR pun makin ketat.

Menurut Biro Riset Infobank, ke depan tantangan BPR kian besar dan jumlah pemain di industri ini pun diperkirakan akan terus menyusut. BPR yang bertahan adalah BPR yang pemiliknya serius mempertahankan banknya dengan memperkuat permodalan dan menunjuk direksi atau pengurus yang profesional untuk melahirkan inovasi produk dan layanannya. Sebaliknya, BPR yang dibiarkan modalnya cekak oleh pemiliknya tanpa mau menjual sahamnya kepada pihak lain akan tertelan oleh seleksi pasar maupun terkena penalti oleh regulator.

Aset 1.619 BPR yang hanya 1,70% dari aset 115 bank umum pun sangat timpang. Betapa tidak, 100 BPR terbesar menguasai hampir separuh aset BPR. Sedangkan, 1.000 BPR menguasai 91% aset BPR. Artinya, 619 BPR terbawah rata-rata hanya memiliki aset Rp17 miliar. Begitu juga dari sisi permodalan. Beberapa BPR sudah sejajar dengan bank umum kelompok BUKU 1, tapi ada ratusan BPR yang belum mampu memenuhi permodalan dan harus dicapai pada akhir 2019.

OJK mewajibkan BPR yang modal intinya kurang dari Rp3 miliar harus memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3 miliar pada akhir tahun depan. Sedangkan, BPR yang modal intinya sudah mencapai Rp3 miliar, tapi kurang dari Rp6 miliar, diwajibkan memenuhi modal inti sebesar Rp6 miliar pada akhir 2019. Pada akhir 2024, tidak ada BPR yang modal intinya kurang dari Rp6 miliar.

Menurut Biro Riset Infobank, kewajiban regulasi keterbatasan modal akan berdampak pada sejumlah aspek yang memengaruhi kelangsungan hidup BPR. Satu, skala ekonomi (economic of scale) menjadi rendah sehingga membuat BPR tidak efisien dan sulit mengembangkan produk maupun layanannya. Apabila BPR hanya bersandar pada produk atau layanan standar yang dimiliki, yaitu di sisi kredit dan simpanan, seperti tabungan dan deposito, dengan kelemahan-kelemahan yang dimiliki BPR pada umumnya, maka BPR akan sulit bersaing.

Dua, BPR sulit membangun sistem teknologi informasi (TI) sehingga risiko operasional meningkat, baik karena potensi fraud maupun human error. Dengan adanya tren dan perkembangan teknologi yang melahirkan digital banking maupun layanan fintech, maka BPR yang tidak mengadopsi teknologi digital akan terlindas oleh persaingan.

Tiga, BPR sulit merekrut para profesional atau pegawai yang berkualitas sehingga menghambat penerapan GCG, dan acap kali tidak memiliki kapasitas untuk menolak campur tangan pemilik yang bisa merugikan bank.

Tantangan BPR memang makin besar, baik karena tuntutan permodalan yang akan terus ada maupun revolusi teknologi dan kebijakan pemerintah yang melahirkan kompetitor baru. Namun, bankir-bankir BPR yang lebih mengenal komunitasnya dan memahami peluang bisnis di daerahnya harus tetap berbesar hati. Buktinya, kendati pemerintah seperti tidak memedulikan nasib BPR dengan mengucurkan KUR dengan subsidi bunga, aset BPR masih tumbuh. Bahkan, ketika kredit UMKM bank umum pada 2017 anjlok 1,68%, kredit UMKM yang dikucurkan BPR masih meningkat 5,20%.

Namun, karena kompetisi antar lembaga perantara keuangan sudah berubah, penguatan BPR pun mutlak dilakukan agar daya saing BPR meningkat dan menjadi lebih tangguh. Tangguh karena modal dan struktur kepemilikan yang kuat. Mampu bersaing karena TI dan sumber daya manusia (SDM) yang andal. Nasabahnya setia karena produk maupun layanannya yang beragam. Dan, dipercaya karena reputasi yang baik.(*)

Related Posts

News Update

Top News